Konflik Demak dan Majapahit pada Pemerintahan Masa Raden Fatah
Versi
Perang antara Demak dan Majapahit diberitakan dalam naskah babad dan
serat, terutama Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda. Dikisahkan, Sunan
Ampel melarang Raden Patah memberontak pada Majapahit karena meskipun
berbeda agama, Brawijaya tetaplah ayah Raden Patah. Namun sepeninggal
Sunan Ampel, Raden Patah tetap menyerang Majapahit. Brawijaya moksa
dalam serangan itu. Untuk menetralisasi pengaruh agama lama, Sunan Giri
menduduki takhta Majapahit selama 40 hari.
Versi Kronik
Cina dari kuil Sam Po Kong juga memberitakan adanya perang antara Jin
Bun melawan Kung-ta-bu-mi tahun 1478. Perang terjadi setelah kematian
Bong Swi Hoo (alias Sunan Ampel). Jin Bun menggempur ibu kota
Majapahit. Kung-ta-bu-mi alias Bhre Kertabhumi ditangkap dan
dipindahkan ke Demak secara hormat. Sejak itu, Majapahit menjadi
bawahan Demak dengan dipimpin seorang Cina muslim bernama Nyoo Lay Wa
sebagai bupati.
Versi Prof. Dr. N. J. Krom dalam buku “Javaansche Geschiedenis” dan
Prof. Moh. Yamin dalam buku “Gajah Mada” mengatakan bahwa bukanlah
Demak yang menyerang Majapahit pada masa Prabu Brawijaya V, tetapi
adalah Prabu Girindrawardhana. Kemudian pasca serangan Girindrawardhana
atas Majapahit pada tahun 1478 M, Girindrawardhana kemudian mengangkat
dirinya menjadi raja Majapahit bergelar Prabu Brawijaya VI, Kekuasaan
Girindrawardhana tidak begitu lama, karena Patihnya melakukan kudeta
dan mengangkat dirinya sebagai Prabu Brawijaya VII. Perang antar Demak
dan Majapahit terjadi pada masa pemerintahan Prabu Brawijaya VII bukan
pada masa Raden Fatah dan Prabu Brawijaya V.
Pada tahun
1485 Nyoo Lay Wa mati karena pemberontakan kaum pribumi. Maka, Jin Bun
mengangkat seorang pribumi sebagai bupati baru bernama Pa-bu-ta-la,
yang juga menantu Kung-ta-bu-mi.
Tokoh Pa-bu-ta-la ini
identik dengan Prabu Natha Girindrawardhana alias Dyah Ranawijaya yang
menerbitkan prasasti Jiyu tahun 1486 dan mengaku sebagai penguasa
Majapahit, Janggala, dan Kadiri.
Selain itu, Dyah
Ranawijaya juga mengeluarkan prasasti Petak yang berkisah tentang
perang melawan Majapahit. Berita ini melahirkan pendapat kalau
Majapahit runtuh tahun 1478 bukan karena serangan Demak, melainkan
karena serangan keluarga Girindrawardhana.
Apakah Raden
Patah pernah menyerang Majapahit atau tidak, dia diceritakan sebagai
raja pertama Demak. Menurut Babad Tanah Jawi, ia bergelar Senapati
Jimbun Ningrat Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama,
sedangkan menurut Serat Pranitiradya, bergelar Sultan Syah Alam Akbar,
dan dalam Hikayat Banjar disebut Sultan Surya Alam.
Nama
Patah sendiri berasal dari kata al-Fatah, yang artinya "Sang Pembuka",
karena ia memang pembuka kerajaan Islam pertama di pulau Jawa.
Pada
tahun 1479 ia meresmikan Masjid Agung Demak sebagi pusat pemerintahan.
Ia juga memperkenalkan pemakaian Salokantara sebagai kitab
undang-undang kerajaan. Kepada umat beragama lain, sikap Raden Patah
sangat toleran. Kuil Sam Po Kong di Semarang tidak dipaksa kembali
menjadi masjid, sebagaimana dulu saat didirikan oleh Laksamana Cheng Ho
yang beragama Islam.
Raden Patah juga tidak mau memerangi
umat Hindu dan Buddha sebagaimana wasiat Sunan Ampel, gurunya.
Meskipun naskah babad dan serat memberitakan ia menyerang Majapahit,
hal itu dilatarbelakangi persaingan politik memperebutkan kekuasaan
pulau Jawa, bukan karena sentimen agama. Lagi pula, naskah babad dan
serat juga memberitakan kalau pihak Majapahit lebih dulu menyerang Giri
Kedaton, sekutu Demak di Gresik.
Tome Pires dalam Suma
Oriental memberitakan pada tahun 1507 Pate Rodin alias Raden Patah
meresmikan Masjid Agung Demak yang baru diperbaiki. Lalu pada tahun
1512 menantunya yang bernama Pate Unus bupati Jepara menyerang Portugis
di Malaka.
Tokoh Pate Unus ini identik dengan Yat Sun
dalam kronik Cina yang diberitakan menyerang bangsa asing di Moa-lok-sa
tahun 1512. Perbedaannya ialah, Pate Unus adalah menantu Pate Rodin,
sedangkan Yat Sun adalah putra Jin Bun. Kedua berita, baik dari sumber
Portugis ataupun sumber Cina, sama-sama menyebutkan armada Demak hancur
dalam pertempuran ini.
Menurut kronik Cina, Jin Bun
alias Raden Patah meninggal dunia tahun 1518 dalam usia 63 tahun. Ia
digantikan Yat Sun sebagai raja selanjutnya, yang dalam Babad Tanah
Jawi bergelar Pangeran Sabrang Lor.
Sunan Ngudung Tewas Di Tangan Panglima Perang Andalan Yang Setia Kepada Majapahit
Naskah-naskah
babad, misalnya Babad Demak atau Babad Majapahit lan Para Wali
mengisahkan Sunan Ngudung tewas ketika memimpin pasukan Kesultanan
Demak dalam perang melawan Kerajaan Majapahit. Menurut naskah-naskah
legenda tersebut, perang antara dua kerajaan ini terjadi pada tahun
1478. Kesultanan Demak yang dipimpin oleh Raden Patah melawan Kerajaan
Majapahit yang dipimpin oleh ayahnya sendiri yaitu Brawijaya.
Sunan
Ngudung diangkat sebagai panglima perang menghadapi musuh yang
dipimpin oleh Raden Kusen, adik tiri Raden Patah sendiri yang menjabat
sebagai adipati Terung (dekat Krian, Sidoarjo). Raden Kusen merupakan
seorang yang diisukan sebagai seorang muslim karena kedekatan Raden Kusen dengan Sunan Giri (padahal sebenarnya Raden Kusen seorang penganut Shiva Buddha yang taat) yang tetap setia terhadap Majapahit. Dalam perang
tersebut Sunan Ngudung sempat bersikap takabur karena telah memakai baju
perang bernama Kyai Antakusuma (sekarang disebut Kyai Gondil). Baju
pusaka itu diperoleh Sunan Kalijaga
Akibat sikap takabur
tersebut, Sunan Ngudung lengah dalam pertempuran dan akhirnya tewas di
tangan Raden Kusen. Jabatan Sunan Ngudung sebagai panglima perang
kemudian digantikan oleh Sunan Kudus. Di bawah kepemimpinannya pihak
Demak berhasil mengalahkan Majapahit.
Menurut prasasti
Trailokyapuri diketahui bahwa Majapahit runtuh bukan akibat serangan
Demak melainkan karena perang saudara melawan keluarga Girindrawardhana.
Namun siapa nama raja Majapahit saat itu tidak disebutkan dengan
jelas. Secara samar-samar Pararaton menyebut nama Bhre Kertabhumi yang
diduga sebagai raja terakhir Majapahit yang dikalahkan oleh
Girindrawardhana.
Apabila benar demikian, maka perang
antara Demak dan Majapahit yang dikisahkan dalam naskah-naskah babad
terjadi pada tahun 1478 belum tentu pernah terjadi. Prasasti
Trailokyapuri menyebut Girindrtawardhana sebagai penguasa Majapahit,
Janggala, dan Kadiri.
Sementara itu Babad Sengkala
menyebut Kadiri runtuh akibat serangan Demak pada tahun 1527. Karena
menurut prasasti di atas, Kadiri dan Majapahit adalah satu kesatuan,
maka dapat disimpulkan bahwa perang antara Majapahit dan Demak bukan
terjadi pada tahun 1478 melainkan tahun 1527.
Perang
antara dua kerajaan tersebut mungkin terjadi lebih dari satu kali.
Naskah Hikayat Hasanuddin menyebutkan pada tahun 1524 imam Masjid Demak
yang bernama Pangeran Rahmatullah tewas ketika memimpin perang melawan
Majapahit. Tokoh ini kemungkinan besar identik dengan Sunan Ngudung.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kematian Sunan Ngudung terjadi pada
tahun 1524, bukan 1478 sebagaimana yang tertulis dalam naskah babad.
Perang Majapahit dengan Demak Bukan Perang Antar Agama
Pada
umumnya, perang antara Majapahit dan Demak dalam naskah-naskah babad
dan serat hanya dikisahkan terjadi sekali, yaitu tahun 1478. Perang ini
terkenal sebagai Perang Sudarma Wisuta, artinya perang antara ayah
melawan anak, yaitu Brawijaya melawan Raden Patah, tetapi cerita ini
cenderung bertentangan dengan fakta sejarah yang diperkuat oleh
prasasti petak dan prasasti Jiyu bahwa Brawijaya dijatuhkan oleh
Girindrawardhana pada tahun 1478. Jadi sesungguhnya terjadi adalah
perang antara Demak dan Daha untuk memperebutkan hegomoni sebagai
penerus Majapahit.
Naskah babad dan serat tidak
mengisahkan lagi adanya perang antara Majapahit dan Demak sesudah tahun
1478. Padahal menurut catatan Portugis dan kronik Cina kuil Sam Po
Kong, perang antara Demak melawan Majapahit terjadi lebih dari satu
kali.
Dikisahkan, pada tahun 1517 Pa-bu-ta-la bekerja sama
dengan bangsa asing di Moa-lok-sa sehingga mengundang kemarahan Jin
Bun. Yang dimaksud dengan bangsa asing ini adalah orang-orang Portugis
di Malaka. Jin Bun pun menyerang Majapahit. Pa-bu-ta-la kalah namun
tetap diampuni mengingat istrinya adalah adik Jin Bun.
Perang
ini juga terdapat dalam catatan Portugis. Pasukan Majapahit dipimpin
seorang bupati muslim dari Tuban bernama Pate Vira. Selain itu
Majapahit juga menyerang Giri Kedaton, salah satu sekutu Demak di
Gresik. Namun, serangan ini gagal di mana panglimanya akhirnya masuk
Islam dengan gelar Kyai Mutalim Jagalpati.
Sepeninggal
Raden Patah alias Jin Bun tahun 1518, Demak dipimpin putranya yang
bernama Pangeran Sabrang Lor sampai tahun 1521. Selanjutnya yang naik
takhta adalah Sultan Trenggana adik Pangeran Sabrang Lor.
Menurut
kronik Cina, pergantian takhta ini dimanfaatkan oleh Pa-bu-ta-la untuk
kembali bekerja sama dengan Portugis. Perang antara Majapahit dan
Demak pun meletus kembali. Perang terjadi tahun 1524. Pasukan Demak
dipimpin oleh Sunan Ngudung, anggota Wali Sanga yang juga menjadi imam
Masjid Demak. Dalam pertempuran ini Sunan Ngudung tewas di tangan Raden
Kusen, adik tiri Raden Patah yang memihak Majapahit.
Perang
terakhir terjadi tahun 1527. Pasukan Demak dipimpin Sunan Kudus putra
Sunan Ngudung, yang juga menggantikan kedudukan ayahnya dalam dewan
Wali Sanga dan sebagai imam Masjid Demak. Dalam perang ini Majapahit
mengalami kekalahan. Raden Kusen adipati Terung ditawan secara
terhormat, mengingat ia juga mertua Sunan Kudus.
Menurut
kronik Cina, dalam perang tahun 1527 tersebut yang menjadi pemimpin
pasukan Demak adalah putra Tung-ka-lo (ejaan Cina untuk Sultan
Trenggana), yang bernama Toh A Bo.
Dari berita di atas
diketahui adanya dua tokoh muslim yang memihak Majapahit, yaitu Pate
Vira dan Raden Kusen. Nama Vira mungkin ejaan Portugis untuk Wira.
Sedangkan Raden Kusen adalah putra Arya Damar. Ibunya juga menjadi ibu
Raden Patah. Dengan kata lain, Raden Kusen adalah paman Sultan
Trenggana raja Demak saat itu.
Raden Kusen pernah belajar
agama Islam pada Sunan Ampel, pemuka Wali Sanga. Dalam perang di atas,
ia justru memihak Majapahit. Berita ini membuktikan kalau perang
antara Demak melawan Majapahit bukanlah perang antara agama Islam
melawan Hindu sebagaimana yang sering dibayangkan orang, melainkan
perang yang dilandasi kepentingan politik antara Sultan Trenggana
melawan Dyah Ranawijaya demi memperebutkan kekuasaan atas pulau Jawa.
Menurut
kronik Cina, Pa-bu-ta-la meninggal dunia tahun 1527 sebelum pasukan
Demak merebut istana. Peristiwa kekalahan Girindrawardhana Dyah
Ranawijaya ini menandai berakhirnya riwayat Kerajaan Majapahit. Para
pengikutnya yang menolak kekuasaan Demak memilih pindah ke pulau Bali.
Kesimpulannya Runtuhnya Majapahit disebabkan 3 Faktor yaitu :
1.Munculnya bencana lumpur seperti sekarang ini di lumpur Lapindo
2.Munculnya Pageblug penyakit di Majapahit
3.Adanya Perang perebutan tahta antar putra-putra Prabhu Bhra Wijaya V.
Sumber :
Babad
Majapahit dan Para Wali (Jilid 3). 1989. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan
Daerah
Babad Tanah Jawi. 2007. (terj.). Yogyakarta: Narasi
H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Poesponegoro & Notosusanto (ed.). 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka.
Slamet
Muljana. 2005. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya
Negara-Negara Islam di Nusantara (terbitan ulang 1968). Yogyakarta: LKIS
http://id.wikipedia.org/wiki/Raden_Patah
http://id.wikipedia.org/wiki/Sunan_Ngudung
http://id.wikipedia.org/wiki/Girindrawardhana
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
DUA WANITA HEBAT YANG SELALU BERADA DIBELAKANG RADEN KUSEN
Oleh : KPP.Ariyo Purbodiningrat,SE CINTAKU TAK BERTEPI Melewati masa Melewati abad Melewati waktu demi waktu Melewati hid...

-
Oleh : KPP.Ariyo Purbodiningrat,SE CINTAKU TAK BERTEPI Melewati masa Melewati abad Melewati waktu demi waktu Melewati hid...
-
Konflik Demak dan Majapahit pada Pemerintahan Masa Raden Fatah Versi Perang antara Demak dan Majapahit diberitakan dalam naskah babad da...
-
Sejarah memang dibuat oleh yang menang. Misi Peng-ISLAM-an pada sebuah Kerajaan besar yaitu Nusantara Majapahit . Se...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar