Konflik Majapahit-Demak dan Sikap Politik Raden Kusen
Dalam sumber-sumber babad, disebutkan bahwa pada 1478 terjadi perang antara Majapahit dan Demak yang mengakibatkan runtuhnya Majapahit. Raden Patah dikisahkan memboyong perlengkapan Kerajaan dari Majapahit ke Demak. Tahun itu pula dalam catatan babad ditandai sebagai tahun runtuhnya Majapahit.Belakangan, selepas ditemukannya bukti-bukti baru seperti Prasasti Jiyu dan Petak serta Naskah Kronik Cina Kuil Sam-Po-Kong serta berita dari Portugis, diketatahui bahwa ternyata pada tahun tersebut Brawijaya V selaku ayah Raden Patah dikudeta , sehingga menyebabkan ketidak stabilan Majapahit. Ibukota Kerajaan Majapahit selepas itu dipindahkan dari Majakerta (Trowulan) ke Daha (Kediri).
Berpindahnya kekuasaan Majapahit kepada Giriwardana, menimbulkan Goncangan, Raden Patah beserta Walisongo yang dahulu patuh terhadap Majapahit mulai membangkang, hingga akhirnya mereka mendirikan Kerajaan Islam Demak dengan mengangkat Raden Patah sebagai Sultannya. Konflik antara Majapahit dan Demakpun kemudian pecah.
Dalam kondisi semacam itu, Raden Kusen rupanya mengambil sikap politik tetap setia pada Majapahit, bahkan manakala terlibat bentrokan fisik antara Majapahit Vs Demak, Raden Kusen tampil sebagai Panglima Perang Kerajaan Majapahit.
Dalam catatan Naskah Mertasinga, Raden Kusen dalam laga perang pertama melawan pasukan Demak terjun ke medan laga dengan gagah berani, bahkan selain membuat porak poranda pasukan Demak Raden Kusen juga berhasil membunuh Panglima Perang Demak, kala itu Panglima perang Demak diemban oleh Sunan Ngundung ayah dari Sunan Kudus.
Kekalahan Majapahit dan Akhir Hayat Raden Kusen
Dalam Naskah Kronik Kuil Sam-Po-Kong, pada 1517 Raden Patah berhasil menaklukan Majapahit, untuk kemudian menjadikan Majapahit sebagai Keadipatian bawahan Demak. Peristiwa tersebut juga sebenarnya identik dengan perang Majapahit Vs Demak yang terekam dalam beberapa babad.Sebagaimana yang dikisahkan dalam Babad Tanah Jawi, bahwa selepas kekalahan Demak dalam perang yang pertama dengan Majapahit. Demak kemudian melancarkan serangan kedua, kali ini yang menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak adalah Sunan Kudus, sementara pada pihak Majapahit, masih mempercayakan Raden Kusen sebagai Pangliama Perangnya.
Dalam perang yang kedua, babad tanah Jawi maupun Naskah Mertasinga mengabarkan kekalahan telak Majapahit, Majapahit dapat dikuasai, sementara Raden Kusen sendiri ternyata berhasil menyelamatkan diri.
Mengenai akhir hayat Raden Kusen, Naskah Mertasinga mengisahkannya cukup Rinci, dalam naskah tersebut disebutkan bahwa, selepas raden Kusen berhasil meloloskan diri, Sunan Kudus mengirimkan surat kepada Raden Kusen agar menyerahkan diri ke Demak, Sunan Kudus berjanji akan mengampuninya serta tidak akan menuntut balas atas kematian ayahnya.
Raden Kusen kemudian menjawab surat Sunan Kudus dengan cara mengadakan perjanjian perdamaian dihadapan Sultan Demak yang juga sebagai kakak tirinya sendiri. Perjanjian damaipun kemudian disetujui Raden Patah kepadanya.
Setelah itu Raden Kusen kemudian dikisahkan memilih meninggalkan Terung.Namun demikian Raden Kusen pada masa Demak,Beliau tidak mau diangkat sebagai Pembesar di Demak, Beliau memilih tetap memegang tampuk kepemimpinan di Terung dan Surabaya, selain juga Beliau diserahi sebagai Pembesar Pajak Majapahit dan Beliau diserahi jabatan oleh Kakaknya Pangeran Jin Bun atau Raden Patah untuk menjadi Adipati di Semarang, selain itu Beliau bersama Gan Si Cang putra Gan Eng Cu dari Tuban membangun bisnis penggergajian kayu jati terbesar di Semarang dan memperbesar bisnis pembuatan galangan kapal,dengan cara kecepatan kapal diperbesar untuk mengalahkan kapal Aceh milik Dja Tik Su (Sunan Kudus). Tidak hanya itu Raden Kusen membuat banyak kapal dan kapal-kapal jung, yang kala itu laris terjual seantero asia, seperti kerajaan sriwijaya membeli kapal pada Raden Kusen, termasuk juga kerajaan tumasik,banda,pagar ruyung,se jawa,dan lain-lain.Termasuk cara-cara bercocok tanam,bertani,pembuatan pupuk-pupuk,alat-alat pertanian,dan selain itu juga pembuatan alat-alat perang,jenis apapun,termasuk juga mesiu-mesiu karena bapak tirinya Raden Arya Damar (Swan Liong) Adipati Palembang adalah ahli mesiu.Beliau berbisnis ini semua hingga akhir hayatnya.
TAMBAHAN
BEBERAPA DATA DARI TELIK SANDIBAYA RADEN KUSEN :
PERBANKAN
DAN PERDAGANGAN
Pada zaman Babylonia, kurang lebih 2000 SM, Temples of
Babylon begitulah nama bank pada masa itu kerajaan-kerajaan di nusantara ini
telah mengadakan perdagangan dengannya. Kegiatan utama bank itu adalah
transaksi peminjaman emas dan perak pada kalangan pedagang yang membutuhkan
dengan memungut biaya tertentu. Pada 500 SM kegiatan perbankan telah
berkembang, tidak mengherankan jika pada zaman Romawi kegiatan perbankan telah
meliputi praktek tukar menukar uang, menerima deposito, memberi kredit dan
transfer dana. Tentunya semuanya dilakukan dengan cara yang sangat sederhana.)
Era perbankan modern dimulai pada abad 15-16. Mulanya pada awal abad itu di Inggris, Belanda dan Belgia muncullah Goldsmith’s Note atau Surat Tukang Emas. Para tukang emas masa itu bersedia menerima uang logam (emas dan perak) untuk disimpan, dan tanda bukti penyimpanan emas ini berlaku sebagai surat deposito yang disebut Goldsmith’s Note.
Dalam perkembangannya surat tukang emas itu digunakan sebagai alat pembayaran. Bahkan tanpa jaminan cadangan emas atau perak sekalipun, surat semacam Goldsmith’s Note (yang identik dengan Notgeld (atau alat pembayaran/catatan pembayaran darurat jaman Pemerintahan Jerman tahun 1918-1924) diterima sebagai alat pembayaran, tentunya dengan dukungan dan jaminan dari pihak Raja, penguasa juga pengusaha dan otoritas lainnya yang dipercaya pada saat itu (inilah cikal bakal uang kertas yang diedarkan perbankan pada masa itu)
Era perbankan modern dimulai pada abad 15-16. Mulanya pada awal abad itu di Inggris, Belanda dan Belgia muncullah Goldsmith’s Note atau Surat Tukang Emas. Para tukang emas masa itu bersedia menerima uang logam (emas dan perak) untuk disimpan, dan tanda bukti penyimpanan emas ini berlaku sebagai surat deposito yang disebut Goldsmith’s Note.
Dalam perkembangannya surat tukang emas itu digunakan sebagai alat pembayaran. Bahkan tanpa jaminan cadangan emas atau perak sekalipun, surat semacam Goldsmith’s Note (yang identik dengan Notgeld (atau alat pembayaran/catatan pembayaran darurat jaman Pemerintahan Jerman tahun 1918-1924) diterima sebagai alat pembayaran, tentunya dengan dukungan dan jaminan dari pihak Raja, penguasa juga pengusaha dan otoritas lainnya yang dipercaya pada saat itu (inilah cikal bakal uang kertas yang diedarkan perbankan pada masa itu)
telah
mengenal perdagangan antar kawasan yang berkembang subur antara Asia Timur
(diwakili China/Tiongkok), Asia Tenggara (diwakili Nusantara yang sekarang
bernama Indonesia), Asia Selatan (diwakili India) dan Asia Barat (diwakili
Persia/Media Persia), dimana ikut juga para pedagang Arab ,Eropa, dan
negara-negara di Timur Tengah. Adapun Kerajaan-Kerajaan di Nusantara , adalah
yang dimulai dari : Kerajaan Salakanagara,dilanjutkan ke Kerajaan Tarumanagara,
Kerajaan Sunda Galuh, Kerajaan Kalingga, Kerajaan Pajajaran, Kerajaan
Medang/Mataram Hindhu,Kerajaan Kahuripan,Kerajaan Janggala, Kerajaan Kediri,
Kerajaan Singhasari, Kerajaan Majapahit,Kesultanan Demak,Kesultanan
Pajang,Kesultanan Mataram Islam,hingga pada Kerajaan Kesunanan Kartasura dan
Kesunanan Surakarta serta Kesultanan Yogyakarta.
Mata
perdagangan komoditi (ekspor)nya kerajaan-kerajaan di nusantara (Indonesia) ini
: kopi,lada,padi, kapas, madu, rotan, serta kayu cendana ,rempah-rempah,garam,
merica pala, adas, cengkeh, kayu gaharu, damar, kapur barus, gula tebu, pisang,
pinang, kapuk, kelapa, gading gajah, kulit penyu, kain sutra dan kain katun.
Dan
lawan dagang mereka komoditi (impor) berupa : kain sutra, payung sutra, pedang,
nila, lilin, belanga besi, piring, mangkuk, keramik cina, warangan, tikar pandan,
merica, pala, kapur barus, gading, emas, perak dan tembaga.
Meskipun
Kerajaan-Kerajaan di Nusantara tersebut telah mempunyai mata uang sendiri namun
dalam jalur perdagangan internasional mereka masih melakukan tukar menukar
barang-barang komoditi (impor) seperti :
emas,perak,tembaga,sutra,porselen,permata,mutiara, barang keramik, dan barang
dari besi, dalam kuota yang sangat besar.
Bisa
dibayangkan apabila dalam satu tahun ada banyak transaksi dalam kuota yang
besar, maka dalam satu masa suatu Kerajaan akan mendapatkan bertumpuk-tumpuk
cadangan emas, dan barang-barang komoditi (impor) yang lain.
Dan
ini berlanjut pada Kerajaan penerusnya ditambah dengan transaksi dalam kuota
yang besar pula yang dilakukan oleh Kerajaan penerusnya pada masa mereka. Indikasi
banyaknya kuota perdagangan yang dilakukan oleh Kerajaan-kerajaan di Nusantara
semakin menguat dengan adanya kejadian kapal-kapal yang mengangkut
barang-barang dagang komoditi impor dengan kuota tonase yang cukup besar yang
karam di pesisir pantura pada tahun 1601-1875 (dapat anda baca pada
http://kapal karam.html)dan mungkin tahun-tahun setelah itu juga terjadi.
Kemitraan
dagang pada jalur perdagangan melalui jalur darat dan laut antara
Kerajaan-Kerajaan di Nusantara dengan pedagang-pedagang Tiongkok/China,India,Arab,dan
Persia, tidak menutup kemungkinan juga kemitraan perdagangan dengan
bangsa-bangsa di Eropa, dimulai dari Yunani dan Romawi pada abad ke-1 (0-100
M), (namun ada temuan lainnya lagi bahwa kerajaan-kerajaan di nusantara ini
sudah mengadakan hubungan perdagangan dengan Mesir, salah satunya kota Barus
atau yang juga disebut Fansur yang terletak di daerah pesisir Barat Pulau
Sumatera yang menghasilkan kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari kota
itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman
kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi,
dapat anda baca dan pelajari
padahttp://students.itb.ac.id/~hadi102/E-books/Islamic/Tsaqofah/Islam%20Masuk%20ke%20Nusantara.pdf
atau pada : www.eramuslim.com )
dan
hubungan kemitraan ini telah terjalin berlangsung sangat lama, sehingga tidak
menutup kemungkinan bahwa pada zaman Kerajaan Majapahit pada tahun 1404 M (
Karena di beberapa kota pada mitra dagang Kerajaan-kerajaan di Nusantara di
Eropa yang menjadi pusat perdagangan, berdiri lembaga perbankan, misalnya
Barcelona (1401), Genoa (1404), Venesia (1587), Milan (1593), Amsterdam (1609),
Hamburg (1619), dan London (1694).Adapun proses munculnya lembaga Bank Sentral
mulai tampak sekitar paruh kedua abad ke-18, tepatnya saat Raja Inggris
menunjuk Bank of England sebagai Bank Sirkulasi dan bankers bank di
wilayah Inggris pada 1773. Langkah tersebut kemudian diikuti oleh Perancis
dengan menunjuk Banque de France (1800), Swedia menunjuk Riskbank (1809), dan
Belanda menunjuk De Nederlandsche Bank (1814) sebagai Bank Sentral-nya.) pada
saat itu pula kerajaan-kerajaan sudah mengenal “menabung/menyimpan” di
bank-bank di benua Eropa melalui berdagang.
Karena
bisa ada kemungkinan bahwa Kerajaan-Kerajaan di Nusantara yang berdagang hingga
ke Eropa pasti diharuskan mengikuti aturan-aturan main di Eropa yang diatur
dengan sistem perbankan perdagangan internasional kala itu.
Hal
ini oleh Kerajaan-Kerajaan di Nusantara dibiarkan tersimpan pada bank-bank di
Eropa dari mulai zaman Kerajaan Majapahit hingga pada zaman Kerajaan Kesunanan
Surakarta (Karena Kesunanan Surakarta adalah penerus langsung Kerajaan
Majapahit melalui Kerajaan Mataram dan Kesunanan Kartasura, sehingga pewaris
sah Kerajaan Majapahit adalah Kesunanan Surakarta sebelum terjadi Perjanjian
Giyanti 1755 M ) pada tahun 1881. Barang-barang komoditi yang boleh tersimpan
pada bank-bank di Eropa adalah : emas,perak,tembaga, permata,mutiara,dan logam
mulia-logam mulia serta batu mulia-batu mulia yang lain.
Sehingga
jelas analisa saya terbukti bahwa atas perintah S.I.S.K.S.Pakoe Boewono IX pada
B.K.P.Kolonel Ariyo Poerbodiningrat (eyang saya) tahun 1881,bahwa eyang saya
mendapat perintah dari S.I.S.K.S.Pakoe Boewono IX untuk memindahkan semuanya
dari semua bank di Eropa dipindahkan ke UBS, sehingga terjadilah pemindahan
barang-barang komoditi Kerajaan-Kerajaan di Nusantara sebelum zaman Kerajaan
Majapahit hingga zaman Kerajaan Majapahit sampai dengan pada zaman Kerajaan
Kesunanan Surakarta yang tersimpan di Eropa
(Inggris,Portugis,Spanyol,Prancis,dan Belanda/Jerman),China,Amerika,dan Timur
Tengah ada indikasi bahwa belum pernah diambil oleh nenek moyang
Kerajaan-kerajaan di Nusantara hingga pada tahun 1881 , dipindahkan ke salah
satu Bank di Eropa yaitu Swisserische Bank Gesellschaft atau Union Bank of
Switzerland (UBS). Karena alasannya UBS adalah Metal Deposit Bank (Bank
Internasional untuk Menyimpan Logam Mulia), selain itu UBS ini adalah bank yang
stabil karena berada di negara Swiss yang terkenal netral atau tidak
terpengaruh negara-negara Eropa lainnya. Dan akhirnya dkumen asset ang ada
kaitannya dengan sejarah leluhur Karaton Soerakarta Hadiningrat-Dinasti Mataram
II Panembahan Senopati yang sebagai kelanjutan dari Kerajaan di Nusantara yang
ada sejak 5.000 SM melalui Kerajaan Majapahit berubah kepemilikan dengan nama
kepemilikan bernama : Mr.IR.Soekarno (yang mengatasnamakan rakyat dan bangsa
Indonesia) yang tersimpan di UBS Swiss, dalam hal ini dokumen-dokumen dan
asset-asset fisik berupa logam mulianya benar, hanya mungkin yang masih menjadi
perdebatan antara pihak Karaton Soerakarta,pihak Internasional dengan pihak
pemerintah Indonesia adalah cara mengumpulkan atau mendapatkannya asset-asset
berupa dokumen-dokumen dan semua logam mulia itu. Namun menurut saya,penulis,
perdebatan-perdebatan dan polemic biarlah tetap menjadi polemic saja, karena
pada kenyataannya semua dokumen dan logam mulia sudah atas nama Mr.Ir.Soekarno,
Mr.Soewarno dkk sebagai perwakilan kami anak bangsa ini. MERDEKA !!!
NB: Bank UBS di Swiss mempunyai
cabang-cabang di beberapa negara di seluruh dunia ini, diantaranya:German: Schweizerische Bankgesellschaft (SBG),Italian: Unione di Banche Svizzere (UBS),French: Union de Banques Suisses (UBS),Spanish: Unión de Bancos Suizos (UBS),Japanese: Swiss Union Ginko (UBS),Arabic: Bank Al Ittihad Al Swissri (UBS),Portuguese: União de Bancos Suiços (UBS)
SEJARAH
KERAJAAN-KERAJAAN DI NUSANTARA DAN SEKTOR PERDAGANGANNYA
Kerajaan-Kerajaan
di Nusantara pada awal abad ke-1 (0-100M) telah mengenal perdagangan antar
kawasan yang berkembang subur antara Asia Timur (diwakili China/Tiongkok), Asia
Tenggara (diwakili Nusantara), Asia Selatan (diwakili India) dan Asia Barat
(diwakili Persia), dimana ikut juga para pedagang Arab dan Negara-negara di
Timur Tengah. Adapun Kerajaan-Kerajaan di Nusantara :
I.Kerajaan
Salakanagara
Salakanagara,
berdasarkan Naskah Wangsakerta - Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara
(yang disusun sebuah panitia dengan ketuanya Pangeran Wangsakerta) diperkirakan
merupakan kerajaan paling awal yang ada di Nusantara. Tokoh awal yang berkuasa
di sini adalah Aki Tirem. Konon, kota inilah yang disebut Argyre oleh
Ptolomeus (Gubernur di Yunani) dalam tahun 150 M, terletak di daerah Teluk Lada
Pandeglang.
Raja
pertama Salakanagara bernama Dewawarman yang berasal dari India. Ia mula-mula
menjadi duta negaranya (India) di Pulau Jawa Rajatapura adalah ibukota
Salakanagara yang hingga tahun 362 M menjadi pusat pemerintahan Raja-Raja
Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII).
Sementara
Jayasinghawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman VIII. Ia
sendiri seorang Maharesi dari Salankayana di India yang mengungsi ke Nusantara
karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan
Maurya.
MATA
PERDAGANGANNYA ; bidang ekspor :lada , kapas, madu, rotan, serta kayu cendana
(garam, merica pala, padi,adas, cengkeh, kayu gaharu, kayu cendana, damar, kapur
barus, gula tebu, pisang, pinang, kapuk, kelapa, gading gajah, kulit penyu,
kain sutra dan kain katun. Sedangkan komoditi impor yaitu: kain sutra, payung
sutra, pedang, nila, lilin, belanga besi, piring, mangkuk, keramik cina,
warangan, tikar pandan, merica, pala, kapur barus, gading, emas, perak dan
tembaga (Wheatley, 1959).), dan hasil-hasil bumi. , bidang impornya :
emas,perak,tembaga,sutra,porselen dan permata
HUBUNGAN
INTERNASIONAL dengan : India,Yunani,Romawi dan Tiongkok.
II.Kerajaan
Tarumanagara
Tarumanagara
atau Kerajaan Taruma adalah sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah
barat pulau Jawa pada abad ke-4 hingga abad ke-7 M. Taruma merupakan salah satu
kerajaan tertua di Nusantara yang meninggalkan catatan sejarah. Kampung Muara
tempat prasasti Ciaruteun dan Telapak Gajah ditemukan, dahulu merupakan sebuah
"kota pelabuhan sungai" yang bandarnya terletak di tepi pertemuan
Cisadane dengan Cianten. Pada Naskah Wangsakerta dari Cirebon itu, Tarumanegara
didirikan oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358, yang kemudian
digantikan oleh putranya, Dharmayawarman (382-395). Jayasingawarman dipusarakan
di tepi kali Gomati, sedangkan putranya di tepi kali Candrabaga.
MATA
PERDAGANGANNYA , bidang ekspor : kopi,lada, kapas, madu, rotan, serta kayu
cendana ( garam, merica pala,padi, adas, cengkeh, kayu gaharu, kayu cendana,
damar, kapur barus, gula tebu, pisang, pinang, kapuk, kelapa, gading gajah,
kulit penyu, kain sutra dan kain katun. Sedangkan komoditi impor yaitu: kain
sutra, payung sutra, pedang, nila, lilin, belanga besi, piring, mangkuk,
keramik cina, warangan, tikar pandan, merica, pala, kapur barus, gading, emas,
perak dan tembaga (Wheatley, 1959).), dan hasil-hasil bumi, bidang impornya :
emas,perak,tembaga,sutra,porselen dan permata.
HUBUNGAN
INTERNASIONAL dengan : India,Yunani,Romawi dan Tiongkok.
III.Kerajaan
Sunda Galuh
Kerajaan
Sunda Galuh adalah suatu kerajaan yang merupakan penyatuan dua kerajaan besar
di Tanah Sunda yang saling terkait erat, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh.
Kedua kerajaan tersebut merupakan pecahan dari kerajaan Tarumanagara. Tarusbawa
yang berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa, di tahun 669 M menggantikan kedudukan
mertuanya yaitu Linggawarman raja Tarumanagara yang terakhir. Karena pamor
Tarumanagara pada zamannya sudah sangat menurun, ia ingin mengembalikan
keharuman zaman Purnawarman yang berkedudukan di purasaba (ibukota)
Sundapura.
MATA
PERDAGANGANNYA , bidang ekspor : kopi,lada, kapas, madu, rotan, serta kayu
cendana (garam, merica pala,padi, adas, cengkeh, kayu gaharu, kayu cendana,
damar, kapur barus, gula tebu, pisang, pinang, kapuk, kelapa, gading gajah,
kulit penyu, kain sutra dan kain katun. Sedangkan komoditi impor yaitu: kain
sutra, payung sutra, pedang, nila, lilin, belanga besi, piring, mangkuk,
keramik cina, warangan, tikar pandan, merica, pala, kapur barus, gading, emas,
perak dan tembaga (Wheatley, 1959).), dan hasil-hasil bumi, bidang impornya :
emas,perak,tembaga,sutra,porselen dan permata.
HUBUNGAN
INTERNASIONAL dengan: India,Yunani,Romawi dan Tiongkok.
IV.Kerajaan
Kalingga
Kalingga
adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu di Jawa Tengah, yang pusatnya berada di
daerah Kabupaten Jepara sekarang. Kalingga telah ada pada abad ke-6 Masehi dan
keberadaannya diketahui dari sumber-sumber Tiongkok. Kerajaan ini pernah
diperintah oleh Ratu Shima, yang dikenal memiliki peraturan barang siapa yang
mencuri, akan dipotong tangannya.
Putri
Maharani Shima, PARWATI, menikah dengan putera mahkota Kerajaan Galuh yang
bernama MANDIMINYAK, yang kemudian menjadi raja ke 2 dari Kerajaan Galuh.
MATA
PERDAGANGANNYA , bidang ekspor : kopi,lada, kapas, madu, rotan, serta kayu
cendana ( garam, merica pala, padi,adas, cengkeh, kayu gaharu, kayu cendana,
damar, kapur barus, gula tebu, pisang, pinang, kapuk, kelapa, gading gajah,
kulit penyu, kain sutra dan kain katun. Sedangkan komoditi impor yaitu: kain
sutra, payung sutra, pedang, nila, lilin, belanga besi, piring, mangkuk,
keramik cina, warangan, tikar pandan, merica, pala, kapur barus, gading, emas,
perak dan tembaga (Wheatley, 1959). ),dan hasil-hasil bumi, bidang impornya :
emas,perak,tembaga,sutra,porselen dan permata.
HUBUNGAN
INTERNASIONAL dengan: India,Yunani,Romawi dan Tiongkok.
V.Kerajaan
Pajajaran
Kerajaan
Pajajaran adalah sebuah kerajaan yang diperkirakan beribukotanya di Pakuan
(Bogor) di Jawa Barat. Dalam naskah-naskah kuno nusantara, kerajaan ini sering
pula disebut dengan nama Negeri Sunda, Pasundan, atau berdasarkan nama
ibukotanya yaitu Pakuan Pajajaran. Beberapa catatan menyebutkan bahwa kerajaan
ini didirikan tahun 923 oleh Sri Jayabhupati, seperti yang disebutkan dalam
prasasti Sanghyang Tapak. Sejarah kerajaan ini tidak dapat terlepas dari
kerajaan-kerajaan pendahulunya di daerah Jawa Barat, yaitu Kerajaan
Tarumanagara, Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh, dan Kawali.
MATA
PERDAGANGANNYA , bidang ekspor : kopi,lada, kapas, madu, rotan, serta kayu
cendana garam, merica pala, padi,adas, cengkeh, kayu gaharu, kayu cendana,
damar, kapur barus, gula tebu, pisang, pinang, kapuk, kelapa, gading gajah,
kulit penyu, kain sutra dan kain katun. Sedangkan komoditi impor yaitu: kain
sutra, payung sutra, pedang, nila, lilin, belanga besi, piring, mangkuk,
keramik cina, warangan, tikar pandan, merica, pala, kapur barus, gading, emas,
perak dan tembaga (Wheatley, 1959).), dan hasil-hasil bumi, bidang impornya :
emas,perak,tembaga,sutra,porselen dan permata.
HUBUNGAN
INTERNASIONAL dengan: India,Yunani,Romawi dan Tiongkok.
VI.Kerajaan
Medang
Kerajaan
Medang adalah nama sebuah kerajaan yang berdiri di Jawa Tengah pada abad ke-8,
kemudian pindah ke Jawa Timur pada abad ke-10, dan akhirnya runtuh pada awal
abad Kerajaan Medang periode Jawa Tengah biasa pula disebut dengan nama
Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu.ke-II.
Prasasti
Mantyasih tahun 907 atas nama Dyah Balitung menyebutkan dengan jelas bahwa raja
pertama Kerajaan Medang (Rahyang ta rumuhun ri Medang ri Poh Pitu)
adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya.
MATA
PERDAGANGANNYA , bidang ekspor : kopi,lada, kapas, madu, rotan, serta kayu
cendana (garam, merica pala, padi,adas, cengkeh, kayu gaharu, kayu cendana,
damar, kapur barus, gula tebu, pisang, pinang, kapuk, kelapa, gading gajah,
kulit penyu, kain sutra dan kain katun. Sedangkan komoditi impor yaitu: kain
sutra, payung sutra, pedang, nila, lilin, belanga besi, piring, mangkuk,
keramik cina, warangan, tikar pandan, merica, pala, kapur barus, gading, emas,
perak dan tembaga (Wheatley, 1959).), dan hasil-hasil bumi, bidang impornya :
emas,perak,tembaga,sutra,porselen dan permata.
HUBUNGAN
INTERNASIONAL dengan: India,Yunani,Romawi dan Tiongkok.
VII.Kerajaan
Kahuripan
Kahuripan
adalah nama yang lazim dipakai untuk sebuah kerajaan di Jawa Timur yang
didirikan oleh Airlangga pada tahun 1009. Kerajaan ini dibangun sebagai
kelanjutan Kerajaan Medang yang runtuh tahun 1006.
Pada
akhir November 1042, Airlangga terpaksa membagi kerajaannya menjadi dua, yaitu
bagian barat bernama Kadiri beribu kota di Daha, diserahkan kepada Sri
Samarawijaya, serta bagian timur bernama Janggala beribu kota di Kahuripan,
diserahkan kepada Mapanji Garasakan.
Pararaton
mencatat beberapa nama yang pernah menjabat sebagai Bhatara i Kahuripan,
atau disingkat Bhre Kahuripan. Yang pertama ialah Tribhuwana Tunggadewi
putri Raden Wijaya. Setelah tahun 1319, pemerintahannya dibantu oleh Gajah Mada
yang diangkat sebagai patih Kahuripan, karena berjasa menumpas pemberontakan Ra
Kuti.
Hayam
Wuruk sewaktu menjabat yuwaraja juga berkedudukan sebagai raja Kahuripan
bergelar Jiwanarajyapratistha. Setelah naik takhta Majapahit, gelar Bhre
Kahuripan kembali dijabat ibunya, yaitu Tribhuwana Tunggadewi.
Sepeninggal
Tribhuwana Tunggadewi yang menjabat Bhre Kahuripan adalah cucunya, yang bernama
Surawardhani. Lalu digantikan putranya, yaitu Ratnapangkaja.
MATA
PERDAGANGANNYA , bidang ekspor : kopi,lada, kapas, madu, rotan, serta kayu
cendana (garam, merica pala, padi,adas, cengkeh, kayu gaharu, kayu cendana,
damar, kapur barus, gula tebu, pisang, pinang, kapuk, kelapa, gading gajah,
kulit penyu, kain sutra dan kain katun. Sedangkan komoditi impor yaitu: kain
sutra, payung sutra, pedang, nila, lilin, belanga besi, piring, mangkuk,
keramik cina, warangan, tikar pandan, merica, pala, kapur barus, gading, emas,
perak dan tembaga (Wheatley, 1959).), dan hasil-hasil bumi, bidang impornya :
emas,perak,tembaga,sutra,porselen dan permata.
HUBUNGAN
INTERNASIONAL dengan: India,Yunani,Romawi dan Tiongkok.
VIII.Kerajaan
Janggala
Janggala
adalah salah satu dari dua pecahan kerajaan yang dipimpin oleh Airlangga dari
Wangsa Isyana. Kerajaan ini berdiri tahun 1042, dan berakhir sekitar tahun
1130-an. Lokasi pusat kerajaan ini sekarang diperkirakan berada di wilayah
Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.
Selanjutnya,
Panji Asmarabangun digantikan putranya yang bernama Kuda Laleyan, bergelar
Prabu Surya Amiluhur. Baru dua tahun bertakhta, Kerajaan Janggala tenggelam
oleh bencana banjir. Surya Amiluhur terpaksa pindah ke barat mendirikan
Kerajaan Pajajaran.
MATA
PERDAGANGANNYA , bidang ekspor : kopi,lada, kapas, madu, rotan, serta kayu
cendana (garam, merica pala, padi,adas, cengkeh, kayu gaharu, kayu cendana,
damar, kapur barus, gula tebu, pisang, pinang, kapuk, kelapa, gading gajah,
kulit penyu, kain sutra dan kain katun. Sedangkan komoditi impor yaitu: kain
sutra, payung sutra, pedang, nila, lilin, belanga besi, piring, mangkuk,
keramik cina, warangan, tikar pandan, merica, pala, kapur barus, gading, emas,
perak dan tembaga (Wheatley, 1959).), dan hasil-hasil bumi, bidang impornya :
emas,perak,tembaga,sutra,porselen dan permata.
HUBUNGAN
INTERNASIONAL dengan: India,Yunani,Romawi dan Tiongkok.
IX.Kerajaan
Kadiri
Kerajaan
Kadiri atau Kerajaan Panjalu, adalah sebuah kerajaan yang terdapat di Jawa
Timur antara tahun 1042-1222. Kerajaan ini berpusat di kota Daha, yang terletak
di sekitar Kota Kediri sekarang.
Pada
akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena
kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Putra yang bernama Sri
Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat di kota
baru, yaitu Daha.
Kerajaan
Panjalu di bawah pemerintahan Sri Jayabhaya berhasil menaklukkan Kerajaan
Janggala dengan semboyannya yang terkenal dalam prasasti Ngantang (1135), yaitu
Panjalu Jayati, atau Panjalu Menang.
Pada
masa pemerintahan Sri Jayabhaya inilah, Kerajaan Panjalu mengalami masa
kejayaannya. Wilayah kerajaan ini meliputi seluruh Jawa dan beberapa pulau di
Nusantara, bahkan sampai mengalahkan pengaruh Kerajaan Sriwijaya di Sumatra.
MATA
PERDAGANGANNYA , bidang ekspor : kopi,lada, kapas, madu, rotan, serta kayu
cendana (garam, merica pala, adas, cengkeh, kayu gaharu, kayu cendana, damar,
kapur barus, gula tebu, pisang, pinang, kapuk, kelapa, gading gajah, kulit
penyu, kain sutra dan kain katun. Sedangkan komoditi impor yaitu: kain sutra,
payung sutra, pedang, nila, lilin, belanga besi, piring, mangkuk, keramik cina,
warangan, tikar pandan, merica, pala, kapur barus, gading, emas, perak dan
tembaga (Wheatley, 1959). ),dan hasil-hasil bumi, bidang impornya :
emas,perak,tembaga,sutra,porselen dan permata.
HUBUNGAN
INTERNASIONAL dengan: India,Yunani,Romawi,Arab ,dan Tiongkok.
X.Kerajaan
Singhasari
Kerajaan
Singhasari atau sering pula ditulis Singasari, adalah sebuah kerajaan di Jawa
Timur yang didirikan oleh Ken Arok pada tahun 1222. Lokasi kerajaan ini
sekarang diperkirakan berada di daerah Singosari, Malang.
Berdasarkan
prasasti Kudadu, nama resmi Kerajaan Singhasari yang sesungguhnya ialah
Kerajaan Tumapel. Menurut Nagarakretagama, ketika pertama kali didirikan tahun
1222, ibu kota Kerajaan Tumapel bernama Kutaraja.
Pada
tahun 1254, Raja Wisnuwardhana mengangkat putranya yang bernama Kertanagara
sebagai yuwaraja dan mengganti nama ibu kota menjadi Singhasari. Nama
Singhasari yang merupakan nama ibu kota kemudian justru lebih terkenal daripada
nama Tumapel. Maka, Kerajaan Tumapel pun terkenal pula dengan nama Kerajaan Singhasari.
MATA
PERDAGANGANNYA , bidang ekspor : kopi,lada, kapas, madu, rotan, serta kayu
cendana (garam, merica pala, adas, cengkeh, kayu gaharu, kayu cendana, damar,
kapur barus, gula tebu, pisang, pinang, kapuk, kelapa, gading gajah, kulit
penyu, kain sutra dan kain katun. Sedangkan komoditi impor yaitu: kain sutra,
payung sutra, pedang, nila, lilin, belanga besi, piring, mangkuk, keramik cina,
warangan, tikar pandan, merica, pala, kapur barus, gading, emas, perak dan
tembaga (Wheatley, 1959).), dan hasil-hasil bumi, bidang impornya :
emas,perak,tembaga,sutra,porselen dan permata.
HUBUNGAN
INTERNASIONAL dengan: India,Yunani,Romawi,Arab, dan Tiongkok.
XI.Majapahit
Majapahit
adalah sebuah kerajaan kuno di Indonesia yang pernah berdiri dari sekitar tahun
1293 hingga 1500 M. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya pada masa
kekuasaan Hayam Wuruk, yang berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389. Majapahit
menguasai kerajaan-kerajaan lainnya di semenanjung Malaya, Borneo, Sumatra,
Bali, dan Filipina.
Kerajaan
Majapahit adalah kerajaan Hindu terakhir di semenanjung Malaya dan dianggap
sebagai salah satu dari negara terbesar dalam sejarah Indonesia. Kekuasaannya
terbentang di Sumatra, semenanjung Malaya, Borneo dan Indonesia timur, meskipun
wilayah kekuasaannya masih diperdebatkan.
Menurut
Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan Majapahit
meliputi Sumatra, semenanjung Malaya, Borneo, Sulawesi, kepulauan Nusa
Tenggara, Maluku, Papua, dan sebagian kepulauan Filipina.
Namun
demikian, batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa daerah-daerah kekuasaan
tersebut tampaknya tidaklah berada di bawah kekuasaan terpusat Majapahit,
tetapi terhubungkan satu sama lain oleh perdagangan yang mungkin berupa
monopoli oleh raja.
Tanggal
pasti yang digunakan sebagai tanggal kelahiran kerajaan Majapahit adalah hari
penobatan Raden Wijaya sebagai raja, yaitu pada tanggal 10 November 1293. Ia
dinobatkan dengan nama resmi Kertarajasa Jayawardhana.
MATA
PERDAGANGANNYA , bidang ekspor : kopi,lada, kapas, madu, rotan, serta kayu cendana
(garam, merica pala, adas, cengkeh, kayu gaharu, kayu cendana, damar, kapur
barus, gula tebu, pisang, pinang, kapuk, kelapa, gading gajah, kulit penyu,
kain sutra dan kain katun. Sedangkan komoditi impor yaitu: kain sutra, payung
sutra, pedang, nila, lilin, belanga besi, piring, mangkuk, keramik cina,
warangan, tikar pandan, merica, pala, kapur barus, gading, emas, perak dan
tembaga (Wheatley, 1959).), dan hasil-hasil bumi, bidang impornya :
emas,perak,tembaga,sutra,porselen,permata,mutiara, barang keramik, dan barang
dari besi. Mata uangnya dibuat dari campuran perak, timah putih, timah hitam,
dan tembaga. Majapahit merupakan negara agraris dan sekaligus negara
perdagangan.
HUBUNGAN
INTERNASIONAL dengan: India,Yunani,Romawi ,Arab,dan Tiongkok.
Majapahit
juga memiliki hubungan dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan
Vietnam, dan bahkan mengirim duta-dutanya ke Tiongkok. Nusantara Sebelum Kedatangan Bangsa Barat Sebelum kedatangan bangsa barat, Nusantara telah
berkembang menjadi wilayah perdagangan
internasional. Pada saat itu terdapat dua jalur perniagaan internasional yang digunakan oleh para pedagang, yaitu.
1.
Jalur perniagaan melalui darat atau lebih dikenal dengan “Jalur Sutra” (Silk Road) yang dimulai dari daratan Tiongkok (Cina) melalui
Asia Tengah, Turkistan hingga ke Laut Tengah. Jalur ini
juga berhubungan dengan jalanjalan yang dipergunakan oleh kafilah India. Jalur ini
merupakan jalur paling tua yang menghubungkan antara Cina dan
Eropa.
2.
Jalur perniagaan melalui laut yang dimulai dari Cina melalui Laut Cina kemudian Selat Malaka, Calicut (India), lalu ke Teluk
Persia melalui Syam (Syuria) sampai ke Laut Tengah atau
melalui Laut Merah sampai ke Mesir lalu menuju Laut Tengah. Melalui jalur perniagaan laut komoditi ekspor dari
wilayah Nusantara menyebar di pasaran
India dan kekaisaran Romawi (Byzantium) yang terus menyebar ke wilayah Eropa. Komoditi ekspor tersebut antara lain terdiri
atas rempah-rempah, kayu wangi, kapur
barus dan kemenyan. Sejak masa kerajaan lama (baik pada masa
kejayaan Hindu-Budha maupun Islam) pengaruh raja-raja atau sultan-sultan dari
masing-masing kerajaan dalam dunia perdagangan cukup besar. Mereka bertindak tidak
sekedar sebagai pengontrol keamanan
atau penarik pajak saja, namun sering kali juga bertindak sebagai pemilik modal. Pada dasarnya dunia perdagangan di wilayah
Nusantara pada waktu itu mempunyai sifat politis dan kapitalistik.
Ada dua kerajaan utama di Nusantara yang mempunyai andil besar dalam meramaikan perniagaan
Internasional pada kurun abad ke-7 hinga ke-15, yaitu Sriwijaya di
Sumatera dan Majapahit di Jawa. Keduanya
adalah kerajaan Hindu-Budha. Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan pantai yang kekuatan ekonominya bertumpu pada
perdagangan internasional. Sriwijaya berhubungan
dengan jalan raya perdagangan internasional dari Cina ke Eropa melalui Selat Malaka. Pada abad ke-7 hingga ke-13 kerajaan tersebut tumbuh
dan berkembang menjadi pusat perdagangan di wilayah Indonesia
Barat, terutama setelah berhasil menguasai dan mengamankan jalur perdagangan di sekitar Selat
Malaka. Sriwijaya mewajibkan setiap
kapal dagang yang lewat Selat Malaka untuk singgah ke pelabuhan Sriwijaya. Oleh karena itu, kerajaan tersebut sering dikunjungi
para pedagang dari Persia, Arab,
India, dan Cina untuk memperdagangkan barang-barang dari negerinya atau negeri-negeri yang dilaluinya. Barang-barang tersebut
antara lain berupa tekstil, kapur
barus, mutiara, kayu berharga, rempah-rempah, gading, kain katun dan sengkelat, perak, emas, sutera, pecah belah serta
gula. Selain sebagai pusat perdagangan,
Sriwijaya juga mempunyai kapal-kapal sendiri untuk perniagaannya. Pelayaran kapal-kapal niaga
Sriwijaya meliputi Asia Tenggara sampai India, bahkan hingga Madagaskar. Dominasi
perdagangan Sriwijaya mulai mengalami
masa surut ketika mendapat serangan dari kerajaan Cola, India pada abad ke-11. Selanjutnya pada abad ke-13 kedudukannya
terdesak oleh kerajaan-kerajaan di
Jawa Timur, terutama Singosari dengan pemimpinnya Kertanegara yang mengirimkan ekspedisi Pamalayu hingga ke Tumasik. Akhirnya keberadaan Sriwijaya betul-betul hilang
setelah Majapahit mengirimkan ekspedisi
ke wilayah itu. Sejak 1293 sampai 1500 Majapahit yang berpusat di Jawa (Timur) tampil sebagai pengganti Sriwijaya. Pada masa
pemerintahan Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada, Majapahit mencapai
puncak kekuasaannya. Kerajaan tersebut adalah kerajaan agraris dan sekaligus merupakan
kerajaan perdagangan. Dengan angkatan
laut yang kuat, wilayah kekuasaan Majapahit terbentang dari Maluku hingga Sumatera Utara. Perniagaannya tidak terbatas
pada perdagangan dan pelayaran pantai saja, melainkan juga
perdagangan seberang laut melalui Malaka menuju Samudera Hindia. Pada saat yang sama, menurut Marcopolo, di Sumatera
terdapat kerajaan Tumasik dan Samudra Pasai. Pasai merupakan kerajaan
Islam yang mempunyai posisi kuat dalam bidang politik dan ekonomi sehingga mampu
mempertahankan kedaulatannya atas
Malaka. Namun demikian Pasai mengakui kekuasaan kerajaan Hindhu-Budha Majapahit di Jawa dan juga kekaisaran Cina.. Sebagai
pusat perdagangan, Pasai banyak melakukan hubungan dagang dengan
Gujarat, Benggala serta kota-kota pelabuhan di pantai utara Jawa. Selain lada, Pasai
juga mengekspor beberapa barang dagangan lain, diantaranya yaitu
sutra, kapur barus dan emas yang diperoleh dari daerah pedalaman. Sedangkan sutra, orang-orang
Pasai memperoleh kemampuan mengolah sutra dari orang-orang
Cina. Jaman perdagangan mengakibatkan permintaan
secara berkelanjutan akan mata uang.
Mata uang dalam bentuk perak, tembaga dan timah merupakan barang dagangan paling penting yang mengalir ke wilayah Asia,
termasuk Nusantara. Di wilayah itu terdapat keadaan terbuka yang
lebih lama bagi saudagar asing dan mata uang mereka, meski mata uang pribumi (lokal),
khususnya yang dari emas, juga banyak
dicetak. Beberapa uang asing yang telah beredar pada masa itu adalah uang Cina, Jepang, India dan Persia. Pada rentang abad ke-9 sampai 13, beberapa kerajaan
seperti Kerajaan Kediri, Aceh dan
Sulawesi telah mempunyai uang logam dari emas; kerajaan di Bangka, Cirebon, Pontianak, Maluku dan Banten telah mempunyai uang
logam dari timah, perak dan tembaga.
Emas pada masa itu menjadi alat ukur nilai, selain itu berfungsi juga sebagai sarana untuk menabung dan tanda status bagi
seorang Raja. Namun demikian jauh sebelum masa itu, masyarakat
telah mengenal mata uang dalam bentuk
sederhana sebagai alat pembayaran, seperti manik-manik di Bengkulu dan Pekalongan, gelang di Majalengka dan Sulawesi Selatan,
belincung di Bekasi, Moko di Nusa Tenggara Timur, dan kerang di
Papua. Mata uang tembaga Cina, dan mata uang
lokal yang terbuat dari timah, merupakan peletak dasar untuk komersialisasi yang makin
meningkat di kawasan itu setelah tahun 1400 (abad ke-15). Mata uang
Cina disebut dengan uang cash (sansakerta), tetapi orang Portugis menyebutnya dengan caixa khususnya
untuk mata uang tembaga Cina yang diekspor dan istilah
tersebut juga digunakan oleh bangsa Eropa yang lainnya. Sedangkan masyarakat Jawa menyebutnya
dengan picis. Mata uang ini berbentuk bulat kecil mempunyai lubang persegi ditengahnya
agar dapat diikat menjadi satu bundel senilai seribu (puon),
enam ratus atau jumlah lainnya yang lazim dilakukan masa itu. Pada Juni 1599, John Davis, seorang pelaut Inggris
yang bekerja pada kapal Belanda, melaporkan bahwa di Aceh terdapat
berbagai macam alat pembayaran seperti
cashes, mas, cowpan (kupang), perdaw dan tayel (tahil). Ia membuat semacam daftar kurs mata uang di Aceh pada waktu itu,
sebagai berikut : 1600 cashes = 1 mas 400 cashes = 1 kupang 5 mas = 4 shilling sterling 4 mas = 1 perdaw (di Aceh disebut pardu) 4 perdaw = 1 tahil Dalam sumber lain disebutkan pula bahwa satu tail
(tahil) sama dengan 16 mas (dirham).
Satu Ringgit Spanyol (Real Spanyol) sama dengan 16 mas (dirham).
XII.Kesultanan
Demak
Kesultanan
Demak atau Kesultanan Demak Bintara adalah kesultanan Islam pertama di Jawa
yang didirikan oleh Raden Patah pada tahun 1478. Kesultanan ini sebelumnya
merupakan keadipatian (kadipaten) vazal dari kerajaan Majapahit, dan tercatat
menjadi pelopor penyebaran agama Islam di pulau Jawa dan Indonesia pada
umumnya. Kesultanan Demak tidak berumur panjang dan segera mengalami kemunduran
karena terjadi perebutan kekuasaan di antara kerabat kerajaan. Pada tahun 1568,
kekuasaan Kesultanan Demak beralih ke Kesultanan Pajang yang didirikan oleh Jaka
Tingkir.
Pada
saat kerajaan Majapahit mengalami masa surut, secara praktis wilayah-wilayah
kekuasaannya mulai memisahkan diri. Wilayah-wilayah yang terbagi menjadi
kadipaten-kadipaten tersebut saling serang, saling mengklaim sebagai pewaris
tahta Majapahit. Pada masa itu arus kekuasaan mengerucut pada dua adipati,yaitu
Raden Patah dan Ki Ageng Pengging. Sementara Raden Patah mendapat dukungan dari
Walisongo, Ki Ageng Pengging mendapat dukungan dari Syekh Siti Jenar.
MATA
PERDAGANGANNYA , bidang ekspor : kopi,lada, kapas, madu, rotan, serta kayu
cendana (garam, merica pala, adas, cengkeh, kayu gaharu, kayu cendana, damar,
kapur barus, gula tebu, pisang, pinang, kapuk, kelapa, gading gajah, kulit
penyu, kain sutra dan kain katun. Sedangkan komoditi impor yaitu: kain sutra,
payung sutra, pedang, nila, lilin, belanga besi, piring, mangkuk, keramik cina,
warangan, tikar pandan, merica, pala, kapur barus, gading, emas, perak dan
tembaga (Wheatley, 1959). ),dan hasil-hasil bumi, bidang impornya :
emas,perak,tembaga,sutra,porselen,permata,mutiara, barang keramik, dan barang
dari besi. Mata uangnya dibuat dari campuran perak, timah putih, timah hitam,
dan tembaga. Demak kelanjutan Majapahit merupakan negara agraris dan sekaligus
negara perdagangan.
HUBUNGAN
INTERNASIONAL : India,Yunani,Romawi,Portugis,Arab, dan Tiongkok.
Demak
kelanjutan Majapahit juga memiliki hubungan dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma
bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim duta-dutanya ke Tiongkok.
Perkembangan
Eropa : Asal Mula Bank-Bank
Pada
1453 Dinasti Usmani (Ottoman) Turki yang dipimpin oleh Sultan Muhammad II (1451-1481) berhasil menguasai Konstantinopel, ibu
kota Imperium Romawi- Byzantium (Romawi Timur). Sejak saat itu,
pusat perkembangan ekonomi dan politik dunia abad ke-14 sampai dengan awal abad ke-15 ada di
tangan Imperium Turki Usmani yang segera menguasai
wilayah-wilayah strategis yang semula dikuasai oleh orang-orang Eropa, khususnya Romawi-Byzantium. Jatuhnya kekuasaan Romawi-Byzantium mengakibatkan
tertutupnya perdagangan di Laut
Tengah bagi orang-orang Eropa. Penguasa Turki Usmani menjalankan politik yang mempersulit pedagang Eropa beroperasi di daerah
kekuasaannya. Keadaan tersebut menyebabkan mundurnya hubungan
dagang antara dunia Timur dengan Eropa, sehingga barang-barang yang sangat dibutuhkan
oleh orang-orang Eropa menjadi berkurang di pasaran Eropa,
terutama rempah-rempah. Untuk itu para pedagang Eropa akhirnya mencari jalan alternatif
sendiri dengan menjelajah secara langsung tempat penghasil rempah-rempah tersebut. Penjelajahan bangsa Eropa ini dipelopori oleh bangsa
Spanyol, Portugis dan diikuti oleh
Belanda, Inggris, dan Perancis. Selain faktor jatuhnya Konstantinopel, penjelajahan bangsa Eropa juga disebabkan oleh
beberapa faktor berikut.
1.
Semangat Reconquesta, yaitu semangat mengalahkan atau menaklukkan sebagai pembalasan terhadap kekuasaan Islam dimanapun
yang mereka jumpai
2.
Kisah perjalanan Marcopolo ke dunia Timur, yaitu kisah perjalanannya dari negeri Cina melalui pelayaran atau lautan
3.
Penemuan Copernicus yang didukung oleh Galileo yang menyatakan bahwa bumi bulat
4.
Penemuan Kompas (penunjuk arah mata angin)
Maka,
pada abad ke-15 dan permulaan abad ke-16, pelaut-pelaut bangsa Eropa telah berhasil menjelajahi samudera yang luas dan
sampai ke negeri-negeri baru seperti
Amerika, Afrika dan Asia termasuk wilayah Nusantara. Semenjak itu kegiatan perdagangan yang semula berada di Laut Tengah
berpindah ke lautan yang lebih luas
yaitu Samudera Atlantik. Dalam perdagangan ini bangsa Spanyol, Belanda, Inggris, dan Perancis berhasil mendapatkan keuntungan
dari pusat-pusat perdagangan yang sangat strategis dari
daerah kekuasaannya. Kekayaan akan logam mulia mengalir ke Eropa terutama melalui negara
Spanyol, Portugis, Belanda, dan
Inggris.
Dari
keuntungan perdagangan itulah, pada abad ke-16 dan ke-17 banyak negara Eropa yang telah berhasil menemukan bentuk dan
identitasnya serta telah menjadi negara nasional yang mempunyai kedudukan kuat di dalam
negeri dengan cara menyelenggarakan administrasi negara
melalui sistem birokrasi dan memperkuat angkatan perangnya. Pada saat itu negara yang paling
kaya merupakan negara yang paling
berkuasa karena sanggup memerintah wilayah kekuasaannya yang luas. Perkembangan yang pesat dalam perdagangan itu
melahirkan paham merkantilisme yang
dianut oleh negara-negara di Eropa. Merkantilisme merupakan cara untuk mengatur kegiatan ekonomi melalui campur tangan
Pemerintah dalam pertumbuhan kapitalisme
pada awal jaman modern di Eropa. Negara-negara penganut merkantilisme menggunakan emas dan perak sebagai
standar kekayaan. Kemudian dilengkapi
lagi dengan uang kertas dan berbagai bentuk kredit. Hal ini dilakukan karena kaum usahawan sangat memerlukan modal dan alat
penukar. Paham ini menopang berlangsungnya kolonialisme dan
imperialisme kuno. Sebagai kelanjutan dari perkembangan
tersebut, pada akhir abad ke-18, di Eropa Barat mulai muncul revolusi industri sebagai perubahan
yang radikal dan cepat terhadap perkembangan kemampuan manusia
dalam menciptakan peralatan kerja untuk meningkatkan hasil produksi. Pada saat itu
terjadi perubahan yang cepat di bidang
ekonomi, yaitu dari kegiatan ekonomi agraris beralih ke ekonomi industri dengan menggunakan mesin. Revolusi Industri berawal
dari Inggris, kemudian berkembang ke daratan Eropa dan menyebar
ke seluruh penjuru dunia. Hingga nantinya, tatkala negara-negara Eropa mengalami puncak
industrialisasi pada abad ke-19 lahirlah praktek kolonialisme dan
imperialisme modern.
Secara
umum, revolusi industri mempunyai dampak yang sangat luas dalam
berbagai
bidang kehidupan manusia seperti.
1.
Munculnya industri secara besar-besaran
2.
Munculnya golongan borjuis dan golongan buruh
3.
Munculnya urbanisasi, yang ditandai dengan perpindahan penduduk daerah pertanian ke daerah kota untuk bekerja sebagai buruh
industri
4.
Munculnya kapitalisme modern, di mana uang memegang peranan yang sangat penting
Kegiatan
ekspansi bangsa Eropa, revolusi perdagangan, dan industrialisasi mempunyai hubungan erat dengan masalah pemerintahan,
perusahaan, dan bank, terutama sebagai sumber pembiayaan bagi
perniagaan perusahaan-perusahaan Eropa di wilayah koloninya. Embrio perbankan modern
pertama kali muncul di Eropa pada
awal abad ke-15 dan 16, meski belum berbentuk lembaga Bank Sentral dan belum mempunyai standarisasi nilai mata uang. Di beberapa
kota yang menjadi pusat perdagangan, berdiri lembaga
perbankan, misalnya Barcelona (1401), Genoa (1404), Venesia (1587), Milan (1593), Amsterdam
(1609), Hamburg (1619), dan
London
(1694).
Adapun
proses munculnya lembaga Bank Sentral mulai tampak sekitar paruh kedua abad ke-18, tepatnya saat Raja Inggris menunjuk Bank
of England sebagai Bank Sirkulasi dan bankers bank di
wilayah Inggris pada 1773. Langkah tersebut kemudian diikuti oleh Perancis dengan menunjuk Banque
de France (1800), Swedia menunjuk Riskbank (1809), dan Belanda
menunjuk De Nederlandsche Bank (1814) sebagai Bank Sentral-nya.
Nusantara
Sesudah Kedatangan Bangsa Barat
Hingga
abad ke-10 pelayaran niaga masih menempuh satu jalur yang tidak terputusputus dari timur ke barat atau sebaliknya. Sampai dengan
abad itu belum ada pelabuhan-pelabuhan yang memiliki cukup
banyak fasilitas untuk dijadikan tempat singgah dalam jalur niaga yang panjang. Sejak abad
ke-10 dan ke-11 muncul kota pelabuhan
yang disebut dengan “emporium”, yaitu suatu kota pelabuhan dengan fasilitas lengkap yang memudahkan para pelaut untuk
memperbaiki kapal-kapalnya sekaligus
melakukan transaksi perdagangan. Dalam setiap emporium biasanya terdapat pengusaha yang memiliki modal cukup besar
sehingga mampu menyediakan fasilitas kredit,
gudang-gudang, usaha dagang dan bahkan sewa dan jual beli kapal untuk ekspedisi dagang. Lahirnya sistem”emporia” telah memudahkan pelayaran
niaga. Para pedagang tidak lagi
dipaksa untuk menempuh seluruh jalur dari timur ke barat untuk memasarkan barang dagangannya. Tetapi, dengan menempuh satu
emporium saja, maka komoditi dagangnya akan dibawa para
pedagang lain menyebar ke emporiumemporium di wilayah lain. Dengan demikian sistem emporia telah
menyebabkan jalur perdagangan menjadi lebih pendek. Berbagai
emporium yang muncul pada abad itu adalah Aden dan Mocha di Laut Merah; Muskat, Bandar
Abas dan Hormuz di Teluk Persia; Kambai dan Kalikut di Laut Arab;
Satgaon di Teluk Benggala; Zaiton dan Nanking di Laut Cina serta Malaka di Selat Malaka. Pada abad ke-15, Malaka mulai menggeser kedudukan
Samudra Pasai dalam dunia perdagangan internasional. Secara
geografis, letak Malaka cukup strategis dan lebih menguntungkan dibandingkan Pasai. Malaka dikenal
sebagai pintu gerbang Nusantara yang terletak pada jalan silang
antara wilayah timur dan wilayah barat Asia. Sebagaimana Sriwijaya, Malaka dapat dikatakan
tidak memproduksi sendiri bahan-bahan hasil bumi atau
pertambangannya, tetapi mendatangkan dari wilayah lain. Namun dengan kekuatan hubungan diplomatiknya dengan
berbagai negara kuat seperti Cina, Siam dan Majapahit, kerajaan
Malaka berkembang menjadi emporium terbesar di kawasan Asia. Terlebih lagi setelah
penguasa Malaka menjadi penganut Islam pada 1414, mendorong semakin banyak pedagang
Islam dari Arab dan India melakukan kegiatan perdagangan di Malaka. Pesatnya perkembangan Malaka juga didukung oleh
kebijakan yang ditempuh para penguasanya.
Mereka berusaha menumbuhkan sistem birokrasi yang dapat memenuhi tugasnya dalam mengatur perekonomian Malaka.
Salah satu jabatan yang penting dan berkaitan erat dengan
perdagangan di pelabuhan adalah Syahbandar.
Di Malaka, terdapat empat syahbandar yang dipilih secara langsung oleh para pedagang asing dari berbagai kelompok bangsa
untuk mengurusi kepentingan mereka masing-masing.
Kedudukan strategis Malaka itu terdengar oleh orang-orang Portugis yang telah berhasil mendirikan
suatu kantor dagang di Goa, India.
Untuk itu Affonso d’Albuquerque, seorang panglima Portugis di Goa bermaksud mengadakan hubungan dengan Malaka. Suatu
utusan Portugis dipimpin oleh Lopez Squeira pada 1509 tiba di
Malaka untuk mengadakan hubungan dagang dengan Malaka. Namun penguasa Malaka enggan untuk
menerimanya, bahkan mereka menyerang orang-orang Portugis yang
tiba di Malaka saat itu. Hingga akhirnya,
dengan dipimpin langsung oleh Panglima Portugis, Affonso d’Albuquerque,
Portugis
merebut Malaka pada 1511. Mereka berharap dengan menguasai Malaka akan dapat merampas seluruh perdagangan merica di
Asia. Namun harapan mereka tidak
terpenuhi, mengingat Malaka tidak memproduksi hasil-hasil perdagangan (ekspor) apa pun, termasuk merica yang mereka
cari-cari selama ini. Tetapi Malaka semata-mata emporium yang berfungsi sebagai pelabuhan
transit bagi para pedagang di wilayah Asia. Setelah menguasai Malaka, orang-orang Portugis
melanjutkan perjalanannya ke Maluku,
tepatnya ke Banda yang merupakan tempat pengumpulan rempah-rempah di Maluku. Di Banda Portugis mendapatkan pala, cengkeh
dan fuli. Rempah-rempah tersebut mereka tukar dengan bahan pakaian
dari India. Dengan ini suasana perdagangan
yang ramai timbul di pulau Banda. Pada 1521 bangsa Spanyol datang dengan dua kapal melalui Filipina dan Kalimantan Utara
menuju kepulauan Maluku, yaitu Tidore, Bacan dan Jailolo.
Kedatangan mereka diterima dengan baik, ketika mereka pulang beberapa pedagang mereka menetap di
Tidore, tetapi mereka mendapat serangan dari Portugis.
Kedatangan bangsa Spanyol ke Maluku tidak disukai oleh bangsa Portugis, karena mereka tidak
menghendaki ada bangsa Eropa lain
yang menjadi pesaing monopoli perdagangan mereka di Maluku. Akan tetapi karena sikap baik yang ditunjukakan oleh bangsa
Spanyol, masyarakat Maluku lebih menyukai mereka daripada bangsa Portugis. Oleh karena
itu kapal-kapal mereka terus mengunjungi Maluku hingga 1534.
Namun karena adanya perjanjian dengan bangsa Portugis sejak tahun 1534, Spanyol meninggalkan
Maluku dan Portugis mendapat kebebasan penuh untuk melakukan
monopoli rempah-rempah di Maluku. Sejak akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 tiba
giliran bagi orang Belanda, Inggris, Denmark dan Perancis datang ke wilayah Nusantara.
Secara khusus, kedatangan bangsa Belanda didorong oleh dua motif
yaitu ekonomi dan petualangan. Pada 1585 ketika Portugal masuk daerah kuasa Spanyol maka
peranan bangsa Belanda sebagai pengangkut
dan penyebar rempah-rempah di wilayah Eropa terhenti. Karena kehilangan mata pencaharian tersebut, bangsa
Belanda memutuskan untuk mendapatkan rempah-rempah secara langsung
dari kepulauan Nusantara. Pada 1595
armada bangsa Belanda, yang terdiri dari empat kapal dagang, untuk pertama kalinya berlayar ke Hindia Timur dibawah pimpinan
Cournelis de Houtman. Armada tersebut
sampai di Banten pada 1596. Karena mengharapkan keuntungan yang berlimpah, permintaan Belanda kepada Banten atas
sejumlah besar lada diluar kemampuannya
untuk membayar menimbulkan ketegangan antara mereka. Kemudian Belanda meninggalkan pelabuhan Banten dengan
menembaki kota Banten. Sikap kasar tersebut menyebar ke
seluruh pelabuhan di pesisir utara Jawa, sehingga Belanda mengalami kesulitan untuk mengadakan
hubungan dagang. Armada pertama tersebut hanya berlayar
hingga Bali dan pada 1597 mereka berhasil kembali ke Belanda dengan membawa banyak
rempah-rempah. Tahun berikutnya, 1598 armada kedua
Belanda yang terdiri dari Jacob van Neck, Waerwijck, Heemskerck di Banten, tiba di banten dan
diterima dengan baik oleh penguasa-penguasa di sana. Hal tersebut
disebabkan situasi Banten yang baru saja mengalami kerugian akibat tindakan orang Portugis dan
sikap bangsa Belanda yang sudah bisa menyesuaikan diri dengan
masyarakat Banten. Kedatangan bangsa Belanda di pelabuhan Tuban dan Maluku juga mendapat
sambutan yang baik daripara penguasa setempat. Hampir setiap
pulau di Kepulauan Maluku mereka singgahi, bahkan mereka juga menempatkan
orang-orangnya untuk menampung hasil
panen rempah-rempah. Kedatangan Belanda di Ternate juga diterima dengan baik
karena pada saat itu Sultan Ternate sedang memusuhi Portugis dan Spanyol. Dengan cara seperti itu, armada Belanda berhasil
kembali ke negerinya dengan kapal-kapal
yang sarat muatan rempah-rempah dan keuntungan yang besar. Pada Maret 1602, setelah perundingan yang alot antara Staten
General (Dewan Perwakilan) dengan perseroan-perseroan di
negeri Belanda (Holland dan Zeeland) dibentuk Vereenidge Oost Indische Compagnie (VOC)
berdasarkan suatu oktroi parlemen yang memberi hak eksklusif kepada
perseroan untuk berdagang, berlayar dan memegang kekuasaan di kawasan antara Tanjung
Harapan dan Kepulauan Salomon. Dalam menjalankan misi dagangnya,
VOC mempunyai hak khusus (oktroi) dalam memperoleh wilayah di Timur, mengadakan
perdamaian, perjanjianperjanjian, menyatakan perang, memiliki kapal perang, mempunyai
tentara dan memiliki benteng pertahanan sendiri.
Tujuan
utama dibentuknya VOC seperti tercermin dalam perundingan 15 Januari 1602 adalah untuk “menimbulkan bencana pada musuh dan
guna keamanan tanah air”. Yang dimaksud musuh saat itu adalah
Portugis dan Spanyol yang pada kurun Juni 1580 – Desember 1640 bergabung menjadi satu
kekuasaan yang hendak merebut dominasi perdagangan di Asia.
Untuk sementara waktu, melalui VOC bangsa Belanda masih menjalin hubungan baik bersama
masyarakat Nusantara. Pada tahun-tahun setelah J.P. Coen menjadi
Gubernur Jenderal VOC, arah politik bangsa Belanda semakin jelas bukan hanya terfokus pada
perdagangan saja tetapi juga melaksanakan monopoli perdagangan
serta politik kekuasaan terhadap kerajaan-kerajaan di Nusantara. Lima tahun sebelum
menjadi Gubernur Jenderal (1614) JP Coen berpendapat bahwa
perdagangan di Asia harus dilaksanakan dan dipertahankan dengan perlindungan serta bantuan
senjata yang diperoleh dari keuntungan
perdaganga. Menurut Coen perdagangan tidak dapat dipertahankan tanpa perang, seperti juga perang tidak dapat
dipertahankan tanpa perdagangan. Akhirnya pada Maret 1619 VOC dibawah pimpinan Gubernur
Jenderal J.P. Coen merebut Jayakarta dari tangan Pangeran
Wijayakrama dan mengukuhkan kedudukannya
setelah membumi hanguskan kota dengan membangun kota Batavia di atas puing-puing reruntuhan Jayakarta. Setelah
berhasil menguasai Batavia, J.P. Coen memindahkan kantor pusat dagang VOC dari Ambon ke
Batavia, sejak saat itu Batavia menjadi markas besar perdagangan
VOC. Hal itu merupakan langkah paling penting yang ditempuh oleh bangsa Belanda, mengingat
dari Batavia VOC mampu membangun pusat militer dan administrasi
di tempat yang relatif aman bagi pergudangan dan pertukaran barang serta mudah mencapai
jalur-jalur perdagangan daerah timur Nusantara, Timur Jauh dan
Eropa. Pada Desember 1650, VOC tercatat mempunyai 74 kapal dagang di seluruh wilayah Asia.
Jumlah tersebut lebih banyak dibandingkan
jumlah armada para pesaingnya, Inggris, Portugis dan Spanyol. Kapalkapal dagang VOC dipersenjatai relatif lebih lengkap
daripada kapal milik bangsa lain.
Oleh karena itu kapal-kapal Belanda lebih memungkinkan untuk melakukan berbagai manuver dengan lebih hebat. Mulai abad ke–15 dapat dikatakan bahwa hampir semua
transaksi perdagangan di Jawa menggunakan mata uang cash milik
Cina. Barangkali armada besar Ming dibawah Cheng Ho itulah yang membuat mata uang Cina begitu
terkenal di bandar-bandar kepulauan yang lain seperti Malaka dan Pasai pada awal
abad ke-15. Kemudian penghapusan larangan Kaisar atas
perdagangan Cina ke Selatan pada tahun 1567 tampaknya mengakibatkan arus masuk secara
besar-besaran mata uang tembaga Cina. Akibatnya banyaknya uang
yang beredar membuat khawatir Pejabat Cina, sehingga pada 1590 di Guangdong dan Fujian
dibuat mata uang tembaga baru campuran
dengan timah yang murah untuk selanjutnya di edarkan. Pada 1596, armada pertama Belanda, picis bermutu rendah
ini beredar jauh ke pedalaman Jawa. Karena bermutu rendah, Mata uang picis dari
timah campuran tersebut mutunya dapat
dipalsukan dengan mudah. Pada 1633, ketika Belanda (VOC) mulai merasa bahwa uang picis dapat diperoleh dari orang
Cina di Batavia, mereka menjadi mengetahui
bahwa sudah ada industri pembuatan picis Cina di Jawa, khususnya di Banten, Cirebon dan Jepara. Belanda mengambil
keuntungan dari kegiatan tersebut dengan memberikan timah atas dasar monopoli kepada
orang Cina terkemuka di daerah pendudukan Belanda. Usaha ambil
untung VOC tersebut, terhenti ketika Inggris berhasil memberikan timah dengan harga yang
lebih murah. Setelah itu VOC beralih
ke mata uang tembaga sebagai sarana dasarnya untuk memasuki perekonomian di Asia. Untuk menandingi uang kepeng
Cina pada 1727 (atau rentang waktu 1728–1751) VOC mengedarkan pecahan logam Duit
sebagai alat pembayaran sah
menggantikan picis/cash. Namun demikian menurut beberapa catatan periode penggunaan mata uang picis yang mereka sponsori
sangatlah penting guna membangun Batavia sebagai bandar yang
menarik bagi pelaut Nusantara yang berkeinginan untuk memegang picis dan barang
dagangan dari Cina. Selain itu kedatangan bangsa Barat pada
abad ke-16 turut memperbanyak jenis mata uang yang beredar di wilayah kepulauan Nusantara.
Hal tersebut menyebabkan peranan mata uang lokal semakin terdesak
karena beredar tanpa tatanan dan kontrol yang jelas dan teratur. Salah satu mata uang
barat yang paling digemari secara
luas adalah Real Spanyol (Spaanse Matten). Pada abad ke-17 tidak
ada mata uang lokal yang dapat bersaing dengan mata
uang Real Spanyol sebagai uang internasional. Uang itu segera menjadi uang dan satuan
hitungan untuk transaksi internasional. Dalam sepucuk surat dari
Gubernur Jenderal dan Dewan VOC di Batavia kepada negeri Belanda tertanggal 12 Pebruari
1685, mereka minta dikirimi senilai
350.000 sampai 400.000 Gulden uang yang tersedia, lebih disukai dalam bentuk real delapan Meksiko/Real Spanyol, karena
orang-orang Jawa, Sumatera dan pulau-pulau
sekitarnya lebih menyukai mata uang tersebut karena sudah selama bertahun-tahun terbiasa menggunakannya. VOC yang berupaya memonopoli perdagangan di Kepulauan
Nusantara meminta ijin Raja Belanda untuk mencetak mata uang real
baru dengan ukuran, berat serta kadar yang sama untuk menandingi popularitas Real Spanyol.
Sekitar awal abad ke-18 mata uang Real Spanyol mulai
langka, oleh karena itu kedudukannya mulai tergeser. Keadaan itu digunakan VOC untuk menjadikan mata uang
Belanda (logam perak) Rijksdaalder sebagai alat pembayaran yang standar di wilayah
Nusantara. Sesungguhnya VOC di Batavia tidak
mempunyai mata uang sendiri, membuat uang merupakan hak kedaulatan VOC yang pelaksanaannya
secara ketat berada dalam pengawasan Staten Generaal. Ketika
dalam tahun 1644 –1645 dibuat sejumlah mata uang darurat dari bahan tembaga dan perak, Heeren
XVII langsung memerintahkan penarikannya
dengan sangat. Dengan pengecualian ini, dan selain medali-medali, VOC tidak membuat uang di Hindia Timur sampai 1744,
ketika akhirnya didirikan sebuah percetakan uang di Batavia.
Akibatnya terjadi kekacauan yang besar dalam peredaran uang di seluruh lingkungan kegiatan VOC.
Berbagai macam mata uang (termasuk Real Spanyol ) yang tiada
terbilang jumlahnya dicetak dalam nilai masingmasing. Hingga sering terjadi perbedaan pendapat antara Heeren
XVII dan Gubernur Jenderal dengan Dewannya di Batavia
mengenai penilaian yang berbeda-beda yang ditetapkan oleh suatu badan. Pada akhir abad ke-18,VOC telah mengalami kemunduran,
beberapa monopolinya di daerah telah tumbang. Pemerintah Belanda
kemudian memulai penyeledikannya terhadap kondisi VOC dan mengungkap kebangkrutan,
skandal dan salah urus dalam segala
bidang. Pada Desember 1794–Januari 1795 Perancis menyerbu negeri
Belanda
dan berhasil membentuk pemerintahan boneka Perancis. Berikutnya pada 1 Januari 1800 VOC dibubarkan, kemudian menyusul
pembubaran dewan majelis (Heeren XVII) VOC di Amsterdam.
Maka seluruh wilayah kekuasaan VOC beralih menjadi wilayah kekuasaan pemerintah Belanda. Pada 1807 Herman William Daendels dikirim ke Batavia
untuk menjadi Gubernur Jenderal di Hindia Timur dengan mengemban
tugas reorganisasi pemerintahan, memperbaiki ekonomi dan mempertahankan Jawa dari
serangan Inggris. Daendels mengalami
kesulitan akibat kas pemerintah yang ditinggalkan VOC dalam keadaan kritis. Ia berusaha meminjam uang sebesar 736.000 Rijksdaalder
untuk memperbaiki kondisi ekonomi di wilayah Hindia Timur,
tetapi usaha tersebut tidak berhasil karena hanya menambah semakin banyaknya mata uang Rijksdaalder
yang beredar, sementara kas pemerintah yang seharusnya
ikut menjamin nilai mata uang itu justru kosong. Daendels dianggap kurang berhasil dalam
menjalankan tugasnya, hingga akhirnya
ia diganti oleh Janssen yang kemudian menyerahkan Hindia Timur kepada Inggris. Setelah itu pada 1811 Ratu Inggris mengangkat Sir
Thomas Stamford Raffles sebagai Letnan Gubernur Hindia Timur. Pada
periode Raffles, ia menarik mata uang Rijksdaalder sejumlah
8,5 juta (uang kertas) dari peredaran dan dianggap sebagai hutang pemerintah yang akan dijamin dengan perak.
Kemudian mata uang Real Spanyol
dihidupkan kembali sebagai standar mata
uang perak. Pada 1813 mata uang
tersebut diganti dengan mata uang Ropij Jawa yang dicetak di Surabaya. Namun Raffles tidak lama bertahan di Hindia Timur
(1811–1815), karena setelah usainya
perang melawan Perancis (Napoleon), Inggris, dan Belanda membuat kesepakatan bahwa semua wilayah Hindia Timur
diserahkan kembali kepada Belanda. Hal itu menyebabkan upaya Raffles
belum sempat memperlihatkan hasilnya ketika kekuasaannya telah berakhir. Sejak peralihan kekuasaan tersebut, Hindia Timur
disebut sebagai Hindia Belanda (Nederland
Indie) dan diperintah oleh Komisaris Jenderal (1815–1819) yang terdiri dari Elout, Buyskes dan van der Capellen. Diantara
periode tersebut tepatnya pada 1817 pemerintah
menerbitkan mata uang baru sebagai ganti Ropij Jawa, yaitu Gulden Hindia Belanda dengan simbol “f” berarti florin atau gulden.
Pada periode itu pemerintah merasakan beratnya beban
kegiatan perekonomian Hindia Belanda tanpa adanya fasilitas perbankan yang memadai. Dalam
hubungan ekspor-impor antara Hindia
Belanda dan Belanda dibutuhkan emas dan perak guna menutupi nilai defisit dalam Neraca perdagangan. Pemerintah Hindia Belanda
harus selalu mendatangkan emas-perak dari Belanda untuk mencukupi
kebutuhan tersebut. Dan hal itu hanya bisa dilakukan dengan mudah melalui fasilitas
perbankan. Komisaris Jenderal Leonard Pierre Joseph
Burgraaf Du Bus de Gisignies dalam Kolonisatie Rapport-nya
mengatakan bahwa nilai ekspor Jawa sangat rendah jika dibandingkan dengan daerah koloni Belanda yang lain.
Karena itu nilai ekspor Jawa tidak
dapat mengimbangi nilai impornya, terlebih lagi tingkat pendapatan rakyat yang sangat rendah tidak dapat membayar barang-barang
impor secara tunai. Untuk itu Du Bus menempuh dua kebijakan yaitu
menggantikan sistem pemilikan komunal menjadi individual guna mendorong rakyat untuk bekerja
mencari uang dan mempergunakan lebih banyak modal daripada
manusia dengan konsekwensi mengundang
modal asing dari Eropa Barat. Kebijakan “lebih banyak modal daripada manusia” Du Bus tersebut akhirnya melahirkan gagasan
ekonomi liberal yaitu “kolonisasi Hindia Belanda dengan modal”.
Akibat dari kebijakan tersebut akhirnya menimbulkan kebutuhan akan akan hadirnya lembaga
perbankan modern di Hindia Belanda.
XIII.Kesultanan
Pajang
Kesultanan
Pajang adalah sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa Tengah sebagai kelanjutan
Kesultanan Demak. Kompleks keraton, yang sekarang tinggal batas-batas
fondasinya saja, berada di perbatasan Kelurahan Pajang, Kota Surakarta dan Desa
Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo.
Sesungguhnya
nama negeri Pajang sudah dikenal sejak zaman Kerajaan Majapahit. Menurut
Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365, ada seorang adik perempuan Hayam Wuruk
(raja Majapahit saat itu) menjabat sebagai penguasa Pajang, bergelar Bhatara
i Pajang, atau disingkat Bhre Pajang. Nama aslinya adalah Dyah Nertaja,
yang merupakan ibu dari Wikramawardhana, raja Majapahit selanjutnya.
Dengan
dukungan Ratu Kalinyamat (bupati Jepara putri Sultan Trenggana), Hadiwijaya dan
para pengikutnya berhasil mengalahkan Arya Penangsang. Ia pun menjadi pewaris
takhta Kesultanan Demak, yang ibu kotanya dipindah ke Pajang.
MATA
PERDAGANGANNYA , bidang ekspor : kopi,lada, kapas, madu, rotan, serta kayu
cendana (garam, merica pala, adas, cengkeh, kayu gaharu, kayu cendana, damar,
kapur barus, gula tebu, pisang, pinang, kapuk, kelapa, gading gajah, kulit
penyu, kain sutra dan kain katun. Sedangkan komoditi impor yaitu: kain sutra,
payung sutra, pedang, nila, lilin, belanga besi, piring, mangkuk, keramik cina,
warangan, tikar pandan, merica, pala, kapur barus, gading, emas, perak dan
tembaga (Wheatley, 1959).), dan hasil-hasil bumi, bidang impornya :
emas,perak,tembaga,sutra,porselen,permata,mutiara, barang keramik, dan barang
dari besi. Mata uangnya dibuat dari campuran perak, timah putih, timah hitam,
dan tembaga. Mataram kelanjutan Demak-Majapahit merupakan negara agraris dan
sekaligus negara perdagangan.
HUBUNGAN
INTERNASIONAL : India,Yunani,Romawi,Portugis,Arab, dan Tiongkok.
Mataram
kelanjutan Demak-Majapahit juga memiliki hubungan dengan Campa, Kamboja, Siam,
Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim duta-dutanya ke
Tiongkok.
XIV.Kesultanan
Mataram
Kesultanan
Mataram adalah kerajaan Islam di Jawa yang didirikan oleh Sutawijaya, keturunan
dari Ki Ageng Pemanahan yang mendapat hadiah sebidang tanah dari raja Pajang,
Hadiwijaya, atas jasanya. Kerajaan Mataram pada masa keemasannya dapat
menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya termasuk Madura serta meninggalkan
beberapa jejak sejarah yang dapat dilihat hingga kini, seperti wilayah Matraman
di Jakarta dan sistem persawahan di Karawang.
MATA
PERDAGANGANNYA , bidang ekspor : kopi,lada, kapas, madu, rotan, serta kayu
cendana garam, merica pala, adas, cengkeh, kayu gaharu, kayu cendana, damar,
kapur barus, gula tebu, pisang, pinang, kapuk, kelapa, gading gajah, kulit
penyu, kain sutra dan kain katun. Sedangkan komoditi impor yaitu: kain sutra,
payung sutra, pedang, nila, lilin, belanga besi, piring, mangkuk, keramik cina,
warangan, tikar pandan, merica, pala, kapur barus, gading, emas, perak dan
tembaga (Wheatley, 1959).), (dan hasil-hasil bumi, bidang impornya :
emas,perak,tembaga,sutra,porselen,permata,mutiara, barang keramik, dan barang
dari besi. Mata uangnya dibuat dari campuran perak, timah putih, timah hitam,
dan tembaga. Mataram kelanjutan Pajang-Demak-Majapahit merupakan negara agraris
dan sekaligus negara perdagangan.
HUBUNGAN
INTERNASIONAL : India,Yunani,Romawi,Portugis,Arab,Spanyol,Inggris,Belanda,dan
Tiongkok.
Mataram
kelanjutan Pajang-Demak-Majapahit juga memiliki hubungan dengan Campa, Kamboja,
Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim duta-dutanya ke
Tiongkok.
Kasunanan
Kartasura adalah sebuah kerajaan di Pulau Jawa yang berdiri pada tahun 1680 dan
berakhir tahun 1742, sebagai kelanjutan dari Kesultanan Mataram. Riwayat
kerajaan yang usianya relatif singkat ini cenderung diwarnai oleh perang
saudara memperebutkan takhta.
Lokasi
pusat Kasunanan Kartasura saat ini diperkirakan terdapat di Kartasura,
Sukoharjo, Jawa Tengah.
Istana
lama Mataram saat itu telah dikuasai oleh Pangeran Puger, putra Amangkurat I
lainnya, yang ditugasi sang ayah untuk merebutnya dari tangan Trunajaya.
Amangkurat II terpaksa membangun istana baru di Hutan Wanakarta, yang diberi
nama Kartasura. Ia mulai pindah ke istana tersebut pada bulan September 1680.
MATA
PERDAGANGANNYA , bidang ekspor : kopi,lada, kapas, madu, rotan, serta kayu
cendana (garam, merica pala, adas, cengkeh, kayu gaharu, kayu cendana, damar,
kapur barus, gula tebu, pisang, pinang, kapuk, kelapa, gading gajah, kulit
penyu, kain sutra dan kain katun. Sedangkan komoditi impor yaitu: kain sutra,
payung sutra, pedang, nila, lilin, belanga besi, piring, mangkuk, keramik cina,
warangan, tikar pandan, merica, pala, kapur barus, gading, emas, perak dan
tembaga (Wheatley, 1959). ), dan hasil-hasil bumi, bidang impornya :
emas,perak,tembaga,sutra,porselen,permata,mutiara, barang keramik, dan barang
dari besi. Mata uangnya dibuat dari campuran perak, timah putih, timah hitam,
dan tembaga. Kartasura kelanjutan Mataram-Pajang-Demak-Majapahit merupakan
negara agraris dan sekaligus negara perdagangan.
HUBUNGAN
INTERNASIONAL : India,Yunani,Romawi,Portugis,Arab,Spanyol,Inggris,Belanda,dan
Tiongkok.
Kartasura
kelanjutan Mataram-Pajang-Demak-Majapahit juga memiliki hubungan dengan Campa,
Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim
duta-dutanya ke Tiongkok.
De
Bank Van Leening dan De Bankcourant en Bank van Leening
Hadirnya
lembaga perbankan di Hindia Belanda sesungguhnya telah dimulai sejak masa VOC, yaitu pada perode 1743-1750. Pada saat itu,
VOC dipimpin oleh Gubernur Jenderal Van Imhoff yang
menjadikan kondisi perdagangan di Eropa sebagai acuan dalam menjalankan pemerintahan di Hindia
Timur, meskipun sebenarnya sebagian besar keadaannya jauh
berbeda. Akibatnya, lahir banyak peraturan yang melampui jamannya sehingga gagal dalam
pelaksanaannya. Pada Agustus 1746, dibentuk suatu dewan
perdagangan untuk menangani berbagai hal, seperti penyelesaian kesepakatan dalam perdagangan
pihak swasta yang perlu segera ditangani. Dalam dewan ini, duduk
tujuh orang yang diserahi tugas sebagai penguasa Bank van Leening yang didirikan pada 20
Agustus 1746. Sebagaimana umumnya bank pada masa itu,
jenis kegiatan Bank van Leening tidak lebih dari suatu rumah pegadaian yang memberikan
pinjaman dengan jaminan barang-barang berupa emas, perak, batu
permata, barang-barang perdagangan, kain-kain, perkakas rumah tangga berukuran dan bernilai
sedang serta benda-benda
serupa
lainnya. Modal bank ini terdiri atas 300 lembar saham masing-masing
bernilai1000 Ringgit. 200 lembar diantaranya dimiliki Pemerintah dan sisanya
oleh pihak lain, sehingga pada 1 Desember 1746 bank
ini sudah dapat beroperasi meski dengan perlahan karena segala keterbatasannya dalam urusan
perdagangan. Dalam perkembangannya Bank van Leening
mengalami kesulitan dalam mengembangkan modalnya. Hal itu
dikarenakan adanya persaingan tidak sehat dengan para pejabat VOC yang menyalahgunakan
kekayaannya dengan pungutan bunga
yang tinggi. Praktek ini menyebabkan jasa bank yang ditawarkan kurang diminati sehingga pengembangan modal menjadi
tersendat-sendat ditambah lagi bank
harus menyerahkan sebagian modalnya dalam bentuk deposito kepada Pemerintah VOC. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, Pemerintah
berdasarkan pasal 1 dari peraturan Bank van Leening ini akan meningkatkan status bank
menjadi bank wesel. Maka berdasarkan konsep yang disepakati dalam
rapat dewan 2 Juni 1752 direncanakan untuk mendirikan suatu lembaga baru yaitu Bank
Courant. Bank Courant ini didirikan pada 1 September 1752 yang selanjutnya berdasarkan
kesepakatan 5 September 1752 digabungkan dengan Bank van Leening
sehingga menjadi De Bankcourant en Bank van Leening. Dengan adanya bank tersebut para
pejabat VOC mempunyai kesempatan untuk menanamkan kekayaan
dengan memperoleh bunga dan mempermudah
penatausahaan modalnya. Sementara itu, sedikit-banyak bank telah
mempunyai andil dalam mengembangkan dunia perdagangan, karena sertifikat deposito atau
kertas bank segera beredar dengan
cepat sebagai uang kertas bank yang banyak diminati karena dapat diuangkan sewaktu-waktu. Karena fungsi tersebut, De
Bankcourant en Bank van Leening dapat dikatakan sebagai pendahulu
dari De Javasche Bank pada abad berikutnya.
Namun sebagaimana pendahulunya (Bank van Leening), De Bankcourant en Bank van Leening juga mengalami kesulitan yang
lebih berat. Tapi pihak Pemerintah VOC tidak mempunyai itikad baik
untuk menangani bank meski mengetahui
sebabnya. Akhirnya pada 1790 terungkap adanya
kekurangan uang dalam kas bank sebesar 63.000 Ringgit, sehingga Pemerintah VOC menilai bahwa
hal itu tidak dapat dibiarkan. Maka, melalui keputusan 5 April
1794 bank dinyatakan ditutup. Pihak VOC mengambil alih dan mengumumkan bahwa kertas bank akan
ditukar dalam waktu dua bulan. Mulai saat itu Bankcourant en
Bank van Leening hanya tinggal nama, meski dibawah pimpinan Gubernur Jenderal Herman
William Daendels (1808 – 1811) pada
14 Juni 1809 bank dinyatakan hidup kembali. Semasa pemerintahan “antara” Inggris pada periode 1811
– 1816 bank diberi wewenang untuk mengedarkan uang, tapi
mengalami kegagalan total yang berakhir dengan tidak adanya uang tunai untuk memenuhi
kewajiban-kewajiban bank dan meminta
para krediturnya untuk menerima pembayaran berupa kopi, beras dan sebagainya. Berdasarkan pasal 7 dari konvensi tambahan
dengan Inggris tertanggal 24 Juni 1817 bank diambil alih oleh
Pemerintah Belanda. Kemudian melalui pengumuman 27 Januari 1818 kesempatan penukaran uang
kertas bank diberikan sampai 18 Juni 1818 dan setelahnya akan
dinyatakan tidak mempunyai nilai lagi.
Dengan
demikian bank dinyatakan ditutup.
Sejarah
Perkembangan Bank Sentral di Nusantara
Kapal
niaga-kapal niaga,
Diterjang
ombak sampai malaka,
Jika
tuan hendak membaca,
Lupalah
jangan sejarah Bank Indonesia,
Mari
kita ikuti sejarah perkembangan Bank Sentral di Nusantara…
Sebelum
kedatangan bangsa barat, Nusantara telah berkembang menjadi wilayah perdagangan internasional. Pada saat itu terdapat dua
jalur perniagaan internasional yang
digunakan oleh para pedagang, jalur darat atau lebih dikenal dengan “Jalur Sutra” dan jalur laut. Melalui jalur perniagaan yang
kedua itulah komoditi ekspor dari wilayah Nusantara yang antara lain berupa:
rempah-rempah, kayu wangi, kapur barus dan kemenyan, sampai di pasaran India dan
kekaisaran Romawi (Byzantium). Pada
masa sebelum kedatangan bangsa barat, ada dua kerajaan utama di Nusantara yang mempunyai andil besar dalam meramaikan perniagaan
Internasional, yaitu Sriwijaya dan Majapahit. Dalam maraknya
perniagaan tersebut belum ada mata uang baku yang dijadikan nilai standar. Meskipun
masyarakat telah mengenal mata uang
dalam bentuk sederhana sebagai alat pembayaran. Sementara itu pada abad ke-15 bangsa-bangsa Eropa
sedang berupaya memperluas wilayah
penjelajahannya di berbagai belahan dunia, termasuk Asia dan Nusantara. Penjelajahan tersebut dipelopori oleh Spanyol dan
Portugis yang kemudian diikuti oleh
Belanda, Inggris dan Perancis sejak jatuhnya Konstantinopel ke tangan kekuasaan Turki Usmani (1453). Pada abad ke-16 dan 17
berbagai perkembangan telah terjadi di Eropa, antara lain
munculnya paham merkantilisme, yaitu suatu sistem ekonomi yang memusatkan wewenang pengaturan
ekonomi di tangan pemerintah. Dengan merkantilisme mereka
menghimpun dana untuk mendorong kegiatan
penjelajahan. Selanjutnya pada akhir abad ke-18 Revolusi Industri telah berlangsung di Eropa. Kegiatan industri berkembang dan
hasil produksi meningkat sehingga mendorong kegiatan ekspor ke
wilayah Asia, juga Amerika. Pesatnya perdagangan di Eropa memicu tumbuhnya lembaga pemberi
jasa keuangan yang merupakan cikal-bakal lembaga perbankan
modern, antara lain seperti Bank van Leening di
Belanda. Kemudian secara bertahap bank-bank tertentu di wilayah Eropa seperti Bank of England (1773), Riskbank(1809),
Bank of France (1800) berkembang menjadi Bank Sentral. Ramainya perdagangan di Asia pada abad ke-15 telah
menjadi daya tarik yang mengantarkan kehadiran ekspedisi
perdagangan bangsa-bangsa Eropa di Nusantara. Terlebih lagi setelah tumbuhnya berbagai kota
pelabuhan emporium di sepanjang jalur perniagaan laut, diantaranya adalah Malaka.
Kedatangan bangsa Barat turut memperbanyak
jenis mata uang yang beredar di wilayah Asia Tenggara. Hal tersebut menyebabkan peranan mata uang lokal semakin terdesak
karena beredar tanpa aturan dan kontrol yang jelas. Uang kepeng
Cina, Cassie, mendominasi Jawa dan Real Spanyol muncul
sebagai mata uang barat yang paling digemari secara luas. Pada 1511 Portugis berhasil menguasai Malaka dan terus
bergerak ke arah timur menuju sumber rempah-rempah di Maluku.
Disana mereka menghadapi bangsa Spanyol
yang datang melalui Filipina. Kemudian bangsa Belanda dengan diperkuat armada tentaranya juga berusaha menguasai
sumber-sumber komoditi perdagangan di Jawa dan Nusantara. Dengan mengibarkan bendera VOC
yaitu perusahaan induk penghimpun perusahan-perusahaan dagang
Belanda, mereka mengukuhkan kekuasaanya
di Batavia pada 1619. Untuk memperlancar dan mempermudah aktifitas perdagangan VOC di Nusantara, pada 1746
didirikan De Bank van Leening dan kemudian berubah menjadi De Bank Courant en
Bank van Leening pada 1752. Bank
van Leening merupakan bank pertama yang beroperasi di
Nusantara. Pada akhir abad ke- 18, VOC telah mengalami
kemunduran, bahkan kebangkrutan. Maka kekuasaan VOC di Nusantara diambil alih oleh
Pemerintah Kerajaan Belanda. Setelah masa pemerintahan Herman William Daendels dan Janssen,
Hindia Timur akhirnya jatuh ke tangan Inggris.
Maka
tibalah masa pemerintahan Sir Thomas Stamford Raffles. Pada periode Raffles, mata uang Rijksdaalder ditarik dari peredaran
dan diganti dengan mata uang Real Spanyol yang
selanjutnya pada 1813 diganti dengan mata uang Ropij Jawa. Raffles tidak lama bertahan di Hindia Timur (1811 – 1815),
karena setelah usainya perang melawan
Perancis (Napoleon), Inggris dan Belanda membuat kesepakatan bahwa semua wilayah Hindia Timur diserahkan kembali kepada
Belanda. Sejak saat itu Hindia Timur disebut sebagai Hindia
Belanda (Nederland Indie) dan diperintah oleh Komisaris Jenderal (1815 – 1819) yang terdiri dari
Elout, Buyskes dan van der Capellen.
XVI.Kasunanan
Surakarta
Kasunanan
Surakarta Hadiningrat adalah sebuah kerajaan di Jawa Tengah yang berdiri tahun
1745 sebagai kelanjutan dari Kasunanan Kartasura.
Kesunanan
Surakarta merupakan kelanjutan Kasunanan Kartasura, yang pada gilirannya adalah
kelanjutan Kesultanan Mataram yang runtuh akibat pemberontakan Trunajaya tahun
1677. Kasunanan Kartasura sendiri runtuh akibat pemberontakan orang-orang Cina
yang mendapat dukungan dari orang-orang Jawa anti VOC tahun 1742.
Saat
itu yang menjadi raja ialah Pakubuwana II. Kota Kartasura berhasil direbut
kembali oleh Cakraningrat IV sekutu VOC namun keadaannya sudah rusak parah.
Pakubuwana II yang menyingkir ke Ponorogo memutuskan untuk membangun istana
baru di desa Sala, bernama Surakarta Hadiningrat.
MATA
PERDAGANGANNYA , bidang ekspor : kopi,lada, kapas, madu, rotan, serta kayu
cendana (garam, merica pala, adas, cengkeh, kayu gaharu, kayu cendana, damar,
kapur barus, gula tebu, pisang, pinang, kapuk, kelapa, gading gajah, kulit
penyu, kain sutra dan kain katun. Sedangkan komoditi impor yaitu: kain sutra,
payung sutra, pedang, nila, lilin, belanga besi, piring, mangkuk, keramik cina,
warangan, tikar pandan, merica, pala, kapur barus, gading, emas, perak dan
tembaga (Wheatley, 1959).), dan hasil-hasil bumi, bidang impornya :
emas,perak,tembaga,sutra,porselen,permata,mutiara, barang keramik, dan barang
dari besi. Mata uangnya dibuat dari campuran perak, timah putih, timah hitam,
dan tembaga. Kasunanan Surakarta kelanjutan Kartasura-
Mataram-Pajang-Demak-Majapahit merupakan negara agraris dan sekaligus negara
perdagangan.
HUBUNGAN
INTERNASIONAL : India,Yunani,Romawi,Portugis,Arab,Spanyol,Inggris,Belanda,dan
Tiongkok.
Kasunanan
Surakarta kelanjutan Kartasura- Mataram-Pajang-Demak-Majapahit juga memiliki
hubungan dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan
bahkan mengirim duta-dutanya ke Tiongkok.
Sejarah
Perkembangan Bank Sentral di Nusantara
Sebelum
kedatangan bangsa barat, Nusantara telah berkembang menjadi wilayah perdagangan internasional. Pada saat itu terdapat dua
jalur perniagaan internasional yang
digunakan oleh para pedagang, jalur darat atau lebih dikenal dengan “Jalur Sutra” dan jalur laut. Melalui jalur perniagaan yang
kedua itulah komoditi ekspor dari wilayah Nusantara yang antara lain berupa:
rempah-rempah, kayu wangi, kapur barus dan kemenyan, sampai di pasaran India dan
kekaisaran Romawi (Byzantium).
Pada
masa sebelum kedatangan bangsa barat, ada dua kerajaan utama di Nusantara yang mempunyai andil besar dalam meramaikan perniagaan
Internasional, yaitu Sriwijaya dan Majapahit. Dalam maraknya
perniagaan tersebut belum ada mata uang baku yang dijadikan nilai standar. Meskipun
masyarakat telah mengenal mata uang
dalam bentuk sederhana sebagai alat pembayaran. Sementara itu pada abad ke-15 bangsa-bangsa Eropa
sedang berupaya memperluas wilayah
penjelajahannya di berbagai belahan dunia, termasuk Asia dan Nusantara. Penjelajahan tersebut dipelopori oleh Spanyol dan
Portugis yang kemudian diikuti oleh
Belanda, Inggris dan Perancis sejak jatuhnya Konstantinopel ke tangan kekuasaan Turki Usmani (1453). Pada abad ke-16 dan 17
berbagai perkembangan telah terjadi di Eropa, antara lain
munculnya paham merkantilisme, yaitu suatu sistem ekonomi yang memusatkan wewenang pengaturan
ekonomi di tangan pemerintah. Dengan merkantilisme mereka
menghimpun dana untuk mendorong kegiatan
penjelajahan. Selanjutnya pada akhir abad ke-18 Revolusi Industri telah berlangsung di Eropa. Kegiatan industri berkembang dan
hasil produksi meningkat sehingga mendorong kegiatan ekspor ke
wilayah Asia, juga Amerika. Pesatnya perdagangan di Eropa memicu tumbuhnya lembaga pemberi
jasa keuangan yang merupakan cikal-bakal lembaga perbankan
modern, antara lain seperti Bank van Leening di
Belanda. Kemudian secara bertahap bank-bank tertentu di wilayah Eropa seperti Bank of England (1773), Riskbank(1809),
Bank of France (1800) berkembang menjadi Bank Sentral. Ramainya perdagangan di Asia pada abad ke-15 telah
menjadi daya tarik yang mengantarkan kehadiran ekspedisi
perdagangan bangsa-bangsa Eropa di Nusantara. Terlebih lagi setelah tumbuhnya berbagai kota
pelabuhan emporium di sepanjang jalur perniagaan laut, diantaranya adalah Malaka.
Kedatangan bangsa Barat turut memperbanyak
jenis mata uang yang beredar di wilayah Asia Tenggara. Hal tersebut menyebabkan peranan mata uang lokal semakin terdesak
karena beredar tanpa aturan dan kontrol yang jelas. Uang kepeng
Cina, Cassie, mendominasi Jawa dan Real Spanyol muncul
sebagai mata uang barat yang paling digemari secara luas. Pada 1511 Portugis berhasil menguasai Malaka dan terus
bergerak ke arah timur menuju sumber rempah-rempah di Maluku.
Disana mereka menghadapi bangsa Spanyol
yang datang melalui Filipina. Kemudian bangsa Belanda dengan diperkuat armada tentaranya juga berusaha menguasai
sumber-sumber komoditi perdagangan di Jawa dan Nusantara. Dengan mengibarkan bendera VOC
yaitu perusahaan induk penghimpun perusahan-perusahaan dagang
Belanda, mereka mengukuhkan kekuasaanya
di Batavia pada 1619. Untuk memperlancar dan mempermudah aktifitas perdagangan VOC di Nusantara, pada 1746
didirikan De Bank van Leening dan kemudian berubah menjadi De Bank Courant en
Bank van Leening pada 1752. Bank
van Leening merupakan bank pertama yang beroperasi di
Nusantara. Pada akhir abad ke- 18, VOC telah mengalami
kemunduran, bahkan kebangkrutan. Maka kekuasaan VOC di Nusantara diambil alih oleh
Pemerintah Kerajaan Belanda. Setelah masa pemerintahan Herman William Daendels dan Janssen,
Hindia Timur akhirnya jatuh ke tangan Inggris. Maka tibalah masa pemerintahan Sir Thomas Stamford
Raffles. Pada periode Raffles, mata
uang Rijksdaalder ditarik dari peredaran dan diganti dengan mata uang Real Spanyol yang
selanjutnya pada 1813 diganti dengan mata uang Ropij Jawa. Raffles tidak lama bertahan di Hindia Timur (1811 – 1815),
karena setelah usainya perang melawan
Perancis (Napoleon), Inggris dan Belanda membuat kesepakatan bahwa semua wilayah Hindia Timur diserahkan kembali kepada
Belanda. Sejak saat itu Hindia Timur disebut sebagai Hindia
Belanda (Nederland Indie) dan diperintah oleh Komisaris Jenderal (1815 – 1819) yang terdiri dari
Elout, Buyskes dan van der Capellen.
SETELAH
PERANG JAWA, BELANDA MENGALAMI DEVISIT KEUANGAN SEHINGGA MEMBERLAKUKAN OKTROI
PADA DJB (DE JAVAASCHE BANK)
DJB
berdasarkan Oktroi I – VIII (1828 – 1922)
Gagasan
pembentukan bank sirkulasi untuk Hindia Belanda dicetuskan menjelang keberangkatan Komisaris Jenderal Hindia Belanda Mr. C.
T. Elout ke Hindia Belanda. Kondisi
keuangan di Hindia Belanda dianggap telah memerlukan penertiban dan pengaturan sistem pembayaran dalam bentuk lembaga
bank. Pada saat yang sama kalangan pengusaha di Batavia, Hindia
Belanda, telah mendesak didirikannya lembaga bank guna memenuhi kepentingan bisnis mereka.
Meskipun demikian gagasan tersebut baru mulai diwujudkan
ketika Raja Willem I menerbitkan Surat Kuasa kepada Komisaris Jenderal Hindia Belanda pada 9
Desember 1826. Surat tersebut memberikan wewenang kepada
Pemerintah Hindia Belanda untuk membentuk
suatu bank berdasarkan wewenang khusus berjangka waktu, atau lazim disebut Oktroi. Dengan surat kuasa tersebut,
pemerintah Hindia Belanda mulai mempersiapkan
berdirinya DJB. Pada 11 Desember 1827, Komisaris Jenderal Hindia Belanda Leonard Pierre Joseph Burggraaf Du Bus de
Gisignies mengeluarkan Surat Keputusan
No. 28 tentang Oktroi dan Ketentuan-Ketentuan mengenai DJB. Kemudian pada 24 Januari 1828 dengan Surat Keputusan
Komisaris Jenderal Hindia Belanda No. 25 ditetapkan Akte Pendirian
De Javasche Bank. Pada saat yang sama juga diangkat Mr. C. de Haan sebagai Presiden DJB dan
C.J. Smulders sebagai Sekretaris DJB. Maka terbentuklah De
Javasche Bank. Oktroi merupakan ketentuan dan pedoman b agi DJB dalam menjalankan usahanya.
Oktroi DJB pertama berlaku selama
10 tahun sejak 1 Januari 1828 sampai 31 Desember 1837 dan diperpanjang sampai dengan 31 Maret 1838. Pada 11 Maret 1828 DJB
mencetak uang kertas pertamakali senilai ƒ 1. 120.000,- dengan
pecahan ƒ 1000, ƒ 500, ƒ 300, ƒ 200, ƒ100, ƒ 50, ƒ 25. Sedangkan untuk
mengeluarkan nilai yang lebih kecil, Direksi bank diwajibkan mengajukan permohonan pada Gubernur
Jenderal yang kemudian akan dilanjutkan
ke Negeri Belanda. Pada tahun kedua, DJB mulai membuka kantor cabang diluar Batavia, yaitu Semarang dan Surabaya. Selanjutnya
dalam periode Oktroi keempat didirikan lima kantor
cabang di Jawa maupun luar Jawa yaitu Padang, Makasar, Cirebon, Solo dan Pasuruan. Kemudian
disusul dengan pembukaan Kantor Cabang Yogyakarta menjelang
berakhirnya Oktroi kelima. Pada
periode Oktroi keenam, DJB yang telah berusia 52 tahun melakukan pembaharuan dasar pendiriannya dengan Akte Pendirian
di hadapan Notaris Derk Bodde di Jakarta pada 22 Maret 1881. Dalam
akte baru tersebut, DJB mengubah statusnya menjadi Naamlooze Vennootschap (N.V.).
Dengan perubahan Akte tersebut, NV.DJB dianggap sebagai
perusahaan baru. Selama berlakunya oktroi keenam, tidak ada penambahan Kantor Cabang baru.
Tetapi justru terjadi penutupan Kantor
Cabang Pasuruan pada 31 Maret 1890 karena selalu menderita kerugian hingga sulit untuk mempertahankan kelangsungan
hidupnya. Oktroi kedelapan adalah
Oktroi DJB terakhir hingga berlakunya DJB Wet pada 1922. Pada periode Oktroi terakhir ini, DJB banyak mengeluarkan ketentuan
baru dalam bidang sistem pembayaran yang mengarah kepada perbaikan
bagi lalu lintas pembayaran di Hindia Belanda. Oktroi kedepalan berakhir hingga 31 Maret
1921 dan hanya diperpanjang selama
satu tahun sampai dengan 31 Maret 1922.
Periode
De Javasche Bankwet 1922 (1922 – 1942)
Pada
31 Maret 1922 diundangkan De Javasche Bankwet 1922. Bankwet 1922 ini kemudian diubah dan ditambah dengan UU tanggal 30
April 1927 serta UU 13 Nopember 1930. Pada dasarnya De Javasche
Bankwet 1922 adalah perpanjangan dari oktroi kedelapan DJB yang berlaku sebelumnya.
Masa berlaku Bankwet 1922 adalah 15 tahun ditambah dengan
perpanjangan otomatis satu tahun, selama tidak ada pembatalan oleh Gubernur Jenderal atau pihak
Direksi. Jumlah modal disetor mengalami
perubahan, kerena diperbesar menjadi ƒ 9.000.000,- dan harus dipenuhi dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh Gubernur
Jenderal. Pimpinan DJB pada periode
DJB Wet adalah Direksi yang terdiri dari seorang Presiden dan sekurangkurangnya dua Direktur, satu diantaranya adalah Sekretaris.
Selain itu terdapat jabatan Presiden Pengganti I, Presiden
Pengganti II, Direktur Pengganti I dan Direktur Pengganti II. Penetapan jumlah Direktur
ditentukan oleh rapat bersama antara
Direksi dan Dewan Komisaris.
Sedangkan
Dewan Komisaris terdiri dari 5 orang yang merupakan pemegang saham dengan hak suara (memiliki 4 saham) dan harus seorang
Belanda. Dewan berkewajiban untuk melakukan pengawasan
terhadap Direksi, meneliti kebenaran rekening tahunan berikut pembukuannya sekaligus
memberikan persetujuan. Adapun pembagian tugas dalam DJB pada
periode ini terdiri dari tujuh bagian, diantaranya Bagian Ekonomi Statistik, Sekretaris,
Bagian Wesel, Bagian Produksi dan Bagian Efek-Efek. Pada periode ini DJB berkembang
pesat dengan 16 Kantor Cabang, antara lain : Bandung, Cirebon,
Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Malang, Kediri, Kutaraja, Medan, Padang,
Palembang, Banjarmasin, Pontianak, Makasar dan Manado. Serta
kantor perwakilan di Amsterdam dan New York.
DJB
berdasarkan Oktroi 1 s.d. 8
Kapan
bank sirkulasi pertama dibentuk di Hindia Belanda? Bagaimana proses pembentukannya? Apa dan siapa yang mewujudkannya?
Semua akan terjawab dalam artikel ini. Selain itu, akan
dikisahkan pula bagaimana De Javasche Bank, sebagai pendahulu Bank Indonesia, untuk pertama
kalinya menjalankan kegiatan perbankan di Hindia Belanda. Lalu, bagaimana
perkembangan De Javasche Bank hingga periode okrroi kedelapan?
Mari
kita simak kisah berikut ini.
Latar
Belakang Pembentukan
Adanya
kesulitan keuangan di Hindia Belanda memerlukan penertiban dan pengaturan sistem pembayaran di Hindia Belanda. Hal
itu di Kerajaan Belanda menimbulkan munculnya gagasan pendirian
bank sirkulasi untuk Hindia Belanda. Tepatnya menjelang keberangkatan Komisaris Jenderal
Hindia Belanda Mr. C. T. Elout ke Hindia Belanda, pada saat upacara
penyerahan kembali Hindia Belanda dari Inggris pada 1816. Demikian halnya di Batavia, Hindia
Belanda, muncul desakan kuat dari kalangan pengusaha agar segera
didirikan lembaga bank guna memenuhi kepentingan bisnis mereka. Terutama untuk fasilitas
pendanaan dan perdagangan luar negeri. Sebagai tindak lanjut dari
gagasan 1816, pada 29 Desember 1826 Raja Willem I mengirimkan Surat Kuasa No. 85 kepada
Komisaris Jenderal Hindia Belanda untuk segera merundingkan dengan Pemerintah Hindia
Belanda tentang pembentukan suatu bank di Jawa berdasarkan
Oktroi, yaitu pemberian wewenang dan hak tunggal dari Pemerintah dengan jangka waktu. Surat kuasa Raja Willem tersebut berdasarkan laporan
rahasia Menteri Kelautan dan Tanah
Jajahan yang diberi tugas olehnya untuk mengajukan konsep suatu Oktroi dan ketentuan-ketentuan bagi suatu bank yang akan
didirikan di Jawa. Maka dalam surat kuasa tersebut Raja Willem menguasakan kepada Menteri
Kelautan dan Tanah Jajahan untuk menyampaikan Surat Kuasa
tersebut kepada Komisaris Jenderal serta mengikut-sertakan Nederlandsche Handelmaatschappij
(NHM) dalam pendirian De Javasche
Bank (DJB).
Oktroi I : 1828 - 1838
Dalam
Surat Keputusan Komisaris Jenderal No. 28 11 Desember 1827 ditetapkan Oktroi khusus bagi DJB sebagai ketentuan dan pedoman
dalam menjalankan usahanya. Oktroi pertama berlaku selama 10
tahun sejak 1 Januari 1828 sampai 31 Desember 1837 dan diperpanjang sampai dengan 31 Maret
1838. Sesuai dengan ketentuan Oktroi pertama, modal dasar DJB
ditentukan sebesar ƒ 4.000.000,- terbagi dalam 8000 lembar saham @ ƒ 500,- yang harus
dipenuhi dalam bentuk emas dan perak. Modal disetor untuk tahap
pertama sebesar ƒ 2.000.000,- (50%) dan apabila modal disetor telah mencapai ƒ 1.000.000,-
(25%) bank dapat dinyatakan berdiri dan memulai usahanya.
Pada tahap awal penjualan ini saham terjual sebesar ƒ 1.021.500,- Berikutnya setelah
penjualan tahap pertama terpenuhi, akan dibuka penjualan saham untuk tahap kedua dan
ketiga dengan jumlah saham masing-masing
satu juta Gulden. Dengan modal pertama tersebut (ƒ 1.021.500,-) dalam bentuk mata uang emas dan perak, maka sesuai
dengan pasal 32 Oktroi pertama, pada 11 Maret 1828 DJB mencetak
uang kertas pertamakali senilai ƒ 1. 120.000,- dengan pecahan ƒ 1000, ƒ 500, ƒ 300, ƒ 200,
ƒ 100, ƒ 50, ƒ 25. Sedangkan untuk mengeluarkan nilai yang
lebih kecil, Direksi bank diwajibkan mengajukan permohonan pada Gubernur Jenderal yang
kemudian akan dilanjutkan ke Negeri Belanda.
Dari
Oktroi I hingga VIII, jenis pembayaran yang sah yang diatur oleh oktroi hanya uang kertas saja. Tapi menjelang akhir Oktroi I,
ketika DJB menghadapi kesulitan mempertahankan
rasio cadangan emas dan perak terhadap uang yang beredar, DJB terpaksa menolak penukaran uang kertas bank ke emas
dan perak. Sebagai gantinya diedarkan
uang tembaga pecahan ƒ 1 sampai ƒ 1000. Jenis ini dapat ditukarkan di kas negara dengan nilai tukar 1 Gulden = 100 duit.
Sebagai bank sirkulasi, selain mencetak
dan mengedarkan uang DJB juga menyelenggarakan beberapa transaksi berikut.
1.
Pemberian kredit dengan bunga 0,75% perbulan dan apabila dengan jaminan uang asing, uang emas dan perak bunganya 0,50% dan
0,65%.
2.
Pengambil-alihan surat wesel/aksep yang dikeluarkan Kantor Lelang Negara di Pulau Jawa, penggadaian surat berharga, benda
berharga dan barang dagangan serta penukaran uang.
3.
Untuk menghimpun dana dari masyarakat, DJB juga menerima simpanan rekening koran dan deposito, memberikan jasa inkaso
atas surat-surat berharga dan menerima titipan penyimpanan
mata uang asing. Pada tahun kedua, DJB mulai membuka kantor
cabang diluar Batavia, yaitu Semarang
dan Surabaya. Gagasan pendirian kantor cabang telah muncul pada RUPS pertama 25 Maret 1828 dan dimasukkan dalam Peraturan
Rumah Tangga Sementara pasal 45. Tindak lanjut dari gagasan itu
adalah pembentukan komisi peneliti yaitu Komisi Semarang dan Komisi Surabaya yang bertugas
melakukan penelitian sebagai bahan
pertimbangan Direksi untuk mendirikan kedua kantor cabang tersebut. Kantor Cabang DJB Semarang dibuka pada 1 Maret 1829 sebagai
cabang pertama di Jawa. Peresmian cabang tersebut ditandai dengan
setoran pertama dari nasabah J Mac Niell sejumlah ƒ 53.000,- sebagai pimpinan cabang
pertama ditunjuk P.W.C. Hipp seorang
pengusaha di Semarang. Sedangkan Komisaris terdiri dari J. Mac Niell, T. Schuurman
dan J. Bremer. Kantor Cabang Surabaya dibuka pada 14 September 1829 sebagai cabang kedua di Jawa. Sebagai pemimpin
cabang pertama adalah F.H Preyer dan Dewan Komisaris terdiri dari
A.H. Buchler, J.E. Bancks dan J.D.A Loth.
Oktroi II : 1838 – 1848
Berdasarkan
perkembangan usaha bank dan kepatuhan terhadap ketentuanketentuan dalam Oktroi I, melalui Surat Keputusan Gubernur
Jenderal Hindia Belanda No. 1 tanggal 17 Juli 1837, De
Javasche Bank diberikan pembaharuan oktroi untuk jangka waktu 10 tahun yang berlaku sejak 1 April
1838 sampai dengan 31 Maret 1848. Surat Keputusan tersebut
didasarkan kuasa yang diberikan oleh Pemerintah Tertinggi di Negeri Belanda dan disampaikan
oleh Menteri Negara Jajahan No.51/D tanggal 28 Februari 1837.
Dalam oktroi kedua, modal disetor yang telah terjual ƒ 1.021.500 dilakukan pendaftaran lagi
sehingga mencapai ƒ 2.000.000.Sedangkan jenis pecahan yang diedarkan tidak
mengalami perubahan. Akibat penarikan
mata uang logam perak dari peredaran, pada 1843 Pemerintah kekurangan uang logam sebagai salah satu alat
pembayaran di Hindia Belanda. Maka dengan Surat Keputusan Menteri Negara Gubernur
Jenderal Hindia Belanda tanggal 4 Februari 1846 diumumkan bahwa sampai adanya penarikan
uang logam pecahan 120 duit, 600 duit, 1.200 duit, 3.000
duit, 12.000 duit dan 60.000 duit Pemerintah akan mengeluarkan Recepis pecahan ƒ 1, ƒ 5, ƒ10, ƒ25,
ƒ100 dan ƒ500. Recepis merupakan tanda terima sementara atas
penyetoran/pinjaman uang. Recepis selanjutnya bisa ditukar dengan saham atau obligasi
atau dokumen berharga lainnya.
Selanjutnya
oktroi kedua mengatur pemegang buku dan kasir dalam hal menyangkut bank dapat menggantikan fungsi notaris setelah mereka
sebelumnya menempuhkan ujian. Sebelumnya aturan ini tidak
terdapat dalam oktroi pertama. Dalam oktroi kedua, DJB dipimpin C.J. Smulders sebagai Presiden dan
H. Roos JR sebagai Sekretaris. Periode ini tidak membuka
kantor cabang baru, meski dalam pasal 7 oktroi dinyatakan DJB mempunyai kantor cabang tetap di
Semarang dan Surabaya, perluasan hanya dapat dilakukan di pulau
Jawa.
Oktroi III : 1848 – 1858
Melalui
surat Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 5 tanggal 3 Maret 1848, oktroi kedua diperpanjang 10 tahun yang berlaku mulai 1 April
1848 sampai dengan 31 Maret 1858. Pada oktroi ketiga, bentuk
hukum, modal dan tempat kedudukan DJB tidak mengalami perubahan. Kantor cabang masih tetap
terbatas di Semarang dan Surabaya, tidak ada pembukaan kantor
cabang baru. Jenis usaha DJB mengalami tambahan yaitu dalam penerbitan surat perintah
membayar kepada Kantor Cabang dan
sebaliknya serta menerima tugas-tugas dari Pemerintah. Dalam peredaran uang kertas tidak mengalami perubahan, hanya dalam pasal 27
ditetapkan bahwa uang kertas bank dapat ditukar dengan Recepis
sebagaimana telah diumumkan pada oktroi kedua 4 Februari 1846. Selain itu pada 1 Mei
1854 diberlakukan UU Mata Uang Hindia Belanda yang menyatakan bahwa
uang Belanda 1847 juga berlaku di Hindia Belanda. UU ini dimuat dalam Staatsblad No. 75
dan diumumkan pada de Javasche
Courant No. 68 tanggal 26 Agustus 1854. Oktroi
ketiga menetapkan jumlah maksimum uang yang diedarkan dari waktu ke
waktu ditetapkan oleh Gubernur Jenderal
dan diumumkam di De Javasche Courant untuk memberitahukan jumlah uang beredar wajib setiap bulan. Oktroi ketiga sebenarnya telah berakhir pada 31 Maret
1858 namun berdasarkan Surat Gubernur Jenderal Hindia Belanda No.
5 tanggal 28 Maret 1858, DJB diberikan oktroi sementara yang berlaku selama dua tahun mulai 1
April 1858 sampai dengan 31 Maret 1860 dengan beberapa perubahan,
seperti.
1.
Semua pecahan uang kertas-bank dapat ditukar dengan alat pembayaran yang sah dan kata recepis dalam oktroi ketiga dihapus.
2.
Hak suara pemegang saham yang semula 4 saham satu suara berubah menjadi 2 saham satu suara, 5 saham dua suara, 9 saham
tiga suara, 14 saham lima suara dan 20 saham enam suara.
Oktroi IV : 1860 – 1870
Pada
periode ini, modal bank disetor yang semula senilai ƒ 2.000.000
selambatlambatnya dalam waktu setahun setelah berlakunya
oktroi keempat ditingkatkan menjadi
ƒ 4.000.000. Sebagian dari tambahan modal tersebut ditanamkan dalam bentuk pinjaman kepada Pemerintah Kerajaan Belanda,
Pemerintah Hindia Belanda dan bentuk hipotik. Dalam pengedaran uang
ditentukan.
1.
Jenis pecahan uang kertas bank yang diedarkan bertambah satu pecahan lagi yaitu ƒ 10.
2.
Dalam pasal 30 dinyatakan Bank tidak diperkenankan mengedarkan uang kertas bank kecuali 2/3 nya dijamin dengan alat
pembayaran yang sah.
3.
Perubahan lain adalah soal wewenang Direksi untuk mengedarkan uang melebihi batas tertinggi yang ditetapkan Gubernur
Hindia Belanda, sepanjang dijamin dengan alat pembayaran yang sah.
4.
Recepis yang pernah dikeluarkan pada 1846 ditarik kembali.
5.
Jika Pemerintah memerlukan dana, disediakan gadai dengan tingkat bunga 4% setahun.
Penggantian Presiden DJB beberapa kali dilakukan dalam
oktroi keempat.
MisalnyaE.
Francis yang telah menjabat sejak 1851 pada 1863 diganti CFW Wiggers van Kerchem yang hanya menjabat selama satu periode (5
tahun) yaitu sampai 1868. Kemudian posisinya digantikan JWC
Diepenheim yang hanya menjabat selama dua tahun, yaitu sampai 1870. Dalam pasal 5 dinyatakan
bahwa selain Kantor Cabang Semarang
dan Surabaya, bank dapat mempunyai kantor-kantor di wilayah Hindia Belanda. Untuk itu pada periode ini didirikan lima
kantor cabang di Jawa maupun luar
Jawa yaitu Padang, Makasar, Cirebon, Solo dan Pasuruan. Kantor cabang Padang merupakan kantor cabang ketiga
dan yang pertama di luar Jawa. Didirikan pada 29 Agustus 1864
dengan A.W. Verkouteren sebagai Pemimpin Cabang pertama. Sebenarnya gagasan pendirian kantor
cabang tersebut telah muncul pada oktroi pertama, hanya saja
pada saat itu terdapat aturan yang tidak mengizinkan pembukaan kantor cabang di luar Jawa.
Kantor cabang keempat dan kedua di luar Jawa adalah Kantor Cabang
Makasar. Pendirian kantor cabang ini diusulkan oleh Kamar Dagang dan Kerajinan Makasar. Hal
itu disebabkan karena Makasar merupakan kota perdagangan dan
lalu-lintas keuangan pemerintah. Kantor cabang Makasar diresmikan tanggal 11 Desember 1864
dengan Pemimpin Cabang sementara J.C. Spengler yang sebelumnya
bekerja pada Firma Haager & Schuurman di Jakarta. Kantor cabang kelima didirikan di Cirebon.
Rencana itu pertamakali dibicarakan dalam Rapat Direksi 22 Juni
1866. Pembukaan kantor dilakukan pada 6 Agustus 1866 dan J.P. Janssen seorang Notaris di
Cirebon, diangkat sebagai Pemimpin Cabang. Kelima kantor cabang yang telah didirikan berada di
daerah pantai atau kota-kota pelabuhan.
Selanjutnya muncul gagasan didirikannya cabang di daerah pedalaman. Gagasan itu muncul ketika Presiden De Javasche Bank,
C.F.W Wiggers van Kerchem berada di Yogyakarta. Ia menyatakan bahwa
pendirian Kantor Cabang Solo merupakan
suatu kebutuhan. Setelah itu Presiden DJB dengan segera mengirim telgram ke Kantor Pusat agar rencana pendirian
tersebut dimasukkan dalam agenda rapat Direksi. Setelah melalui prosedur Rapat Umum
Pemegang Saham Luar Biasa, dengan
Surat Keputusan No. 15 tanggal 23 Oktober 1867 disetujui pendirian Kantor Cabang Solo, bersamaan dengan Kantor Cabang Pasuruan.
Kantor Cabang Solo diresmikan 25 Nopember 1867 dan Kantor
Cabang Pasuruan dibuka pada 27 Nopember
1867.
Oktroi V : 1870 – 1881
Oktroi
V berlaku selama 10 tahun, sejak 1 April 1870 sampai 31 Maret 1880 lewat SK Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 34 tanggal 6
Maret 1870 tanpa ada perubahan bentuk hukum, tempat kedudukan
dan jenis usaha bank. Dengan SK Gubernur
Jenderal Hindia Belanda 25 Maret 1880, oktroi diperpanjang 1 tahun, yaitu sampai dengan 31 Maret 1881. Pasal satu oktroi kelima
menegaskan bahwa di Hindia Belanda tidak boleh didirikan suatu
bank sirkulasi dan juga dilarang beredar uang kertas bank dari bank sentral luar negeri,
kecuali dengan SK Gubernur Hindia Belanda. Modal bank ditingkatkan menjadi ƒ
6.000.000,-yang terbagi atas saham penuh ƒ 500 perlembar dan saham paroan ƒ 250
perlembar. Sedangkan jenis pecahan
uang-kertas-bank yang diedarkan ditambah dengan pecahan ƒ 5,- Dalam oktroi ini terjadi perubahan struktur
kepengurusan.
1.
DJB dipimpin oleh Direksi yang terdiri dari seorang Presiden dibantu dua orang Direktur, yang salah satunya menjadi sekretaris.
2.
Presiden DJB pada awal periode ini adalah Mr. F Alting Mees dibantu DN Versteegh sebagai Direktur Sekretaris dan D Schuurman
sebagai Direktur. Mr. F Alting hanya menjabat selama 3
tahun, dankemudian diganti oleh Mr. N.P. van den Berg.
3.
Dibentuk Dewan Komisaris yang terdiri dari 5 orang yang dipilih pemegang saham untuk masa jabatan 5 tahun.
4.
Adapun untuk pengawasan Pemerintah terhadap tugas bank, diangkat seorang Komisaris Pemerintah yang diangkat dan
diberhentikan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Menjelang berakhirnya Oktroi V, tanggal 1 April 1879
dibuka Kantor Cabang Yogyakarta dengan SK Gubernur Jenderal
Hindia Belanda No. 7 tanggal 20 Desember 1878. Pemimpin cabang pertamanya adalah A.F. van
Suchtelen yang sebelumnya menjabat sebagai Pimpinan Cabang Solo. Alasan
pendirian Kantor Cabang tersebut adalah desakan dari berbagai pihak, termasuk Firma
Dorrepaal & Co Semarang, karena
firma tersebut mempunyai cabang usaha di Yogyakarta. Terlebih lagi Yogyakarta pada waktu itu menunjukkan perkembangan
ekonomi yang cerah. Hal tersebut tampak dari nilai transfer masuk
yang disalurkan melalui Cabang Solo yang mencapai ƒ 3,5 juta. Sedang produksi gula pada waktu
itu mencapai 2.580 ton per tahun.
Oktroi VI : 1881 – 1891
Oktroi
ini disusun berdasarkan Surat Keputusan Raja Willem III No. 19 tanggal 16 Oktober 1880. Berdasarkan itu DJB yang telah berusia
52 tahun melakukan pembaharuan dasar pendiriannya dengan Akte
Pendirian di hadapan Notaris Derk Bodde di Jakarta pada 22 Maret 1881. Dalam Akte
Pendirian itu seluruh isi SK Raja Willem dicantumkan di dalamnya. Selain itu nama bank
didahului dengan Naamlooze Vennootschap
atau N.V. De Javasche Bank. Dengan perubahan Akte tersebut, DJB dianggap sebagai perusahaan baru. Maka diberlakukan
ketentuan peralihan yaitu.
1.
Semua pemegang saham yang tercatat diberi kesempatan untuk mengambil bagian dalam perusahaan baru tersebut (NV DJB)
2.
Apabila mereka tidak mengambil bagian, maka akan dibayarkan nilai saham dan dana cadangan beserta deviden tahun terakhir.
3.
Seluruh kekayaan dan kewajiban DJB beralih ke perusahaan yang baru (NV DJB). Pada
periode oktroi keenam, modal bank yang disetor penuh sejumlah ƒ 6.000.000,- kegiatan usaha tidak berubah, tapi ada ketentuan
sebagai berikut.
1.
Penanaman dana dalam bentuk pembelian surat-surat berharga milik Pemerintah Hindia Belanda dibatasi paling tinggi
setengah dari modal disetor.
2.
Demikian pula pembelian dalam bentuk hipotik ditetapkan maksimum sepertiga dari modal disetor. Selama berlakunya oktroi keenam, tidak ada penambahan
Kantor Cabang baru, tetapi pada 31 Maret 1890 Kantor Cabang
Pasuruan ditutup karena selalu menderita kerugian rata-rata ƒ 4.000 pertahun. Maka sulit untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Oktroi VII : 1891 – 1906
Masa
berlaku oktroi ketujuh lebih lama lima tahun dari oktroi-oktroi sebelumnya, yaitu menjadi 15 tahun. Sesuai dengan Surat Keputusan
Ratu Wilhelmina No. 6 tanggal 6 Januari 1891, Oktroi VII berlaku
mulai 1 April 1891 sampai dengan 31 Maret 1906. Bentuk hukum, modal kerja, dan tempat
usaha tidak berubah. Pada pasal 5 oktroi ini, ditentukan bahwa bank
diperkenankan memiliki Kantor Perwakilan di Amsterdam yang dibuka pada 15 Mei 1891. selain itu
di Batavia didirikan Kantor Filial
Weltervreden pada 6 Me1 1901 yang hanya bertahan selama satu setengah tahun karena ditutup pada 31 Januari 1902. Selama
periode Oktroi VII terjadi dua kali
pergantian Presiden. Presiden G.B. Zeverijn yang memimpin sejak 1889 (periode Oktroi VI) digantikan D. Groeneveld pada 1893 yang
selanjutnya digantikan oleh J. Reysenbach
pada tahun 1898. Presiden yang terakhir ini tetap memangku jabatan Presiden DJB hingga berakhirnya Oktroi VII.
Oktroi VIII :1906 – 1921
Oktroi
VII yang berakhir pada 31 Maret 1906, diperpanjang dengan Surat Keputusan Ratu Wilhelmina No. 26 tanggal 2 Januari 1906 dan
berlaku hingga 15 tahun. Setelah berakhirnya jangka waktu itu,
izinnya senantiasa dianggap diperpanjang selama 1 tahun, kecuali Gubernur Jenderal cenderung
tidak memperpanjang. Apabila terjadi
pencabutan atau pembatalan oktroi, menurut hukum tidak berarti tugas DJB sebagai bank sirkulasi dibatalkan. Dalam jangka waktu
lima tahun setelah pembatalan itu, DJB masih berhak
beroperasi. Pada periode ini, bentuk hukum, modal, tempat kedudukan dan jenis usaha tidak
mengalami perubahan. Namun terdapat
jenis surat berharga yang diperjual-belikan yaitu wesel luar negeri dengan jangka waktu yang lazim dalam perdagangan
internasional. Pada periode Oktroi terakhir ini, DJB banyak mengeluarkan ketentuan baru
dalam bidang sistem pembayaran yang mengarah kepada perbaikan
bagi lalu lintas pembayaran di Hindia Belanda. Mulai 1 Januari 1907 DJB mulai menerapkan sistem
lalu-lintas giro di seluruh kantornya
dan tidak lama kemudian dilaksanakan sistem kliring atau sistem perhitungan antar bank-bank ternama. Pada 15 Februari
1909 disepakati perjanjian tentang
sistem perhitungan kliring untuk pertama kalinya di Batavia (Jakarta). Perjanjian kliring tersebut diikuti enam bank ternama
yaitu DJB sendiri, NHM Factory, Hongkong and Shanghai Banking
Corp, Chartered Bank of India, Australia and China, dan De Nederlandsche Indische Escompto
Maatschappij. Semula terdapat pernyataan
keberatan atas konsep perjanjian sistem perhitungan kliring tersebut dan menganggap bahwa DJB bukanlah satu lembaga yang netral
untuk bertindak sebagai pimpinan kliring. Maka keenam bank peserta
kliring sepakat untuk melibatkan pihak ketiga yang dianggap netral dan bersedia untuk
melaksanakan proses kliring. Pihak ketiga tersebut adalah firma Reynst & Vinyu yang
bersedia menggunakan kantornya sebagai
tempat dilaksanakannya kliring. Setelah
Batavia, sistem kliring juga di lakukan di beberapa kota lainnya. Di Semarang, kliring melibatkan pihak ketiga yaitu Fa.
S.L. van Nierop & Co pada 1909 dibawah pimpinan A.L. Tupker. Pada tahun yang sama,
DJB Kantor Cabang Surabaya merupakan
kantor cabang pertama yang melakukan perhitungan kliring di gedung kantornya sendiri dan tanpa melibatkan pihak ketiga.
Langkah tersebut kemudian diikuti oleh beberapa Kantor Cabang
lainnya seperti Cabang Medan (1915), Bandung (1921) dan Makassar (1922). Berdasarkan data
angka-angka kliring pada periode 1912 – 1916, selain DJB (Batavia), Surabaya muncul
sebagai kota perdagangan dan usaha
yang berkembang lebih pesat dibandingkan Semarang atau kota lainnya. Dibawah kepemimpinan Presiden Mr. G. Vissering (1906 –
1912) dan E.A. Zeilinga (1912- 1921) DJB membuka 11 jaringan
Kantor Cabang di Jawa dan luar Jawa. Cabang Pulau Jawa terdiri dari Kantor Cabang Bandung
(1909) dan Kantor Cabang Malang (1916). Cabang luar Pulau Jawa
terdiri dari Kantor Cabang Pontianak (1906), Bengkalis (1907), Medan (1907), Banjarmasin (1907),
Tanjung Balai (1908), Tanjung Pura (1908), Palembang (1909),
Manado (1910) dan Banda Aceh (1918).
Oktroi
VIII berakhir hingga 31 Maret 1921 dan hanya diperpanjang selama satutahun
sampai dengan 31 Maret 1922.
DJB
Berdasarkan DJB Wet
Anda
masih ingat tentang hak oktroi yang diberikan oleh Kerajaan Belanda kepada De Javasche Bank? Jika tidak, pada halaman sebelum
ini, Anda dapat menemukan uraiannya.
Namun, jika Anda telah membacanya, maka uraian di bawah ini merupakan kelanjutan dari artikel tersebut. Dari
catatan sejarah diketahui bahwa hak oktroi tersebut diberikan mulai tahun 1828 sampai
dengan awal tahun 1922. Untuk
kelangsungan De Javasche Bank, Kerajaaan Belanda menerbitkan Undangundang pada tanggal 31 Maret 1922 tentang De Javasche Bank
Wet. Bank Wet 1922 ini, dalam perjalanannya, diubah dan
ditambah dengan Undang-undang tanggal 30 April 1927 yang berlaku hingga 31 Maret 1953. Pada
periode ini, jumlah modal disetor
ditambah menjadi f 9.000.000, yang harus dipenuhi dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh gubernur jenderal. Pada saat diberlakukannya De Javasche Bank (DJB) Wet 1922, hak monopoli DJB sebagai bank sirkulasi di Hindia Belanda mulai dibatasi oleh pemerintah. Dalam menerbitkan kebijakan moneternya, DJB terlebih dahulu harus mendapat pengarahan dari pemerintah negeri Belanda. Pemerintah Hindia Belanda menentukan anggota dari dewan pengawas DJB yang mempunyai wewenang untuk mencalonkan presiden DJB. Demikian pula dalam hal pembukaan cabang-cabang baru dan penunjukkan agen. Untuk hal tersebut, DJB harusmelalui
persetujuan gubernur jenderal. Terlepas dari segala wewenang pemerintah tersebut, DJB sebenarnya telah menjalankan
fungsi-fungsi yang hanya dapat dilakukan
oleh bank sentral (sekalipun DJB tidak secara resmi bertindak sebagai bank sentral). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
DJB adalah bank perkreditan dengan hak menerbitkan uang
kertas. Ruang lingkup, fungsi, dan tugas
DJB
dalam periode ini antara lain meliputi:
1.
Mengeluarkan uang kertas
2.
Melayani pengiriman uang, pembukaan rekening giro, deposito berjangka, dan semacamnya
3.
Melakukan negosiasi dalam bentuk wesel luar negeri
4.
Melakukan perdagangan logam mulia dan alat-alat pembayaran luar negeri
5.
Memberi kredit kepada perusahaan dan perorangan
6.
Bertindak sebagai kasir pemerintah
7.
Menyelenggarakan kliring antar bank Dalam bidang pembayaran kartal, Bank Wet 1922
menentukan bahwa sosialisasi dalam
penerbitan dan pengedaran uang baru bukan lagi dilakukan oleh pemerintah, melainkan oleh bank yang menerbitkannya. Nilai dan
ciri-ciri uang kertas yang akan diedarkan
harus diumumkan dan disebarluaskan secara resmi oleh direksi dalam surat kabar. Pemerintah juga melarang DJB untuk
mengedarkan uang kertas dengan pecahan
yang lebih kecil dari ƒ5 (lima gulden). Untuk pembayaran non kartal, DJB diberi tugas untuk menyelenggarakan sistem kliring
antar bank yang telah dimulai sejak
1907.
Salah
satu alat pembayaran non kartal yang digunakan pada periode ini adalah kas order (Surat PerintahMembayar/SPM),
yaitu semacam bilyet yang dikeluarkan oleh sub cabang NHM di Medan dalam valuta dolar. Kas order tersebut tidak hanya berlaku di daerah Langkat dan Deli (Sumatera Timur) saja, tapi berlaku hingga ke wilayah Malaka. Namun,kas order tersebut
sebenarnya lebih berfungsi seperti surat dagang jangka pendek yang mudah dipalsukan nilaiM nominalnya. Untuk itu, gubernur jenderal memberikan perhatian khusus bagi berlakunya alat pembayaran tersebut dan mengeluarkan larangan untuk
memasukan dolar ke daratan Sumatera Timur. Menurut pasal 20 Bank Wet 1922, susunan direksi DJB terdiri atas seorang presiden (pimpinan bank) dan sekurang-kurangnya dua direktur, satu diantaranya adalah sekretaris. Selain jabatan tersebut, terdapat
pula jabatan presiden pengganti I, presiden
pengganti II, direktur pengganti I, dan direktur
pengganti II. Penetapan jumlah direktur ditentukan oleh
rapat bersama antara direksi dan dewan komisaris.
Berikut ini adalah pejabat presiden DJB
masa berlakunya
Bank Wet 1922 :
1. E.A. Zeilinga (1922–1924)
2. Mr. L.J.A. Trip (1924–1929)
3. Mr. Dr. G.G. van Buttingha Wichers
(1929–1945)
4. Mr. J.C. van Waveren (1946)
5. Dr. R.E. Smits (1946–1949)
6. Dr. A. Houwink (1949–1951)
Dewan
komisaris terdiri atas lima orang yang merupakan pemegang saham dengan hak suara (memiliki empat saham) dan harus seorang
Belanda. Dewan berkewajiban untuk
melakukan pengawasan terhadap direksi, meneliti kebenaran
rekening tahunan berikut pembukuannya, sekaligus
memberikan persetujuan. Adapun pembagian
tugas dalam DJB pada periode ini terdiri atas tujuh bagian, diantaranya adalah bagian ekonomi statistik, sekretaris, bagian
wesel, bagian produksi, dan bagian
efek-efek. Dalam periode ini, DJB berkembang pesat dengan 16 kantor cabang, yaitu Bandung, Cirebon, Semarang, Yogyakarta,
Surakarta, Surabaya, Malang, Kediri, Kutaraja, Medan, Padang,
Palembang, Banjarmasin, Pontianak, Makassar, dan Manado, serta dua kantor perwakilan di
Amsterdam dan New York.
Selamat
membaca dan menganalisa!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar